SABER, MAKASSAR | (OPINI). Perkembangan pesat teknologi informasi tidak hanya mendorong efisiensi dalam tata kelola pemerintahan, tetapi juga membuka wacana implementasi electronic voting (e-voting) di Indonesia.
Meskipun menjanjikan kecepatan dan akurasi, modernisasi pemilu ini menyimpan tantangan besar berupa ancaman keamanan siber yang berpotensi merongrong integritas hasil dan kepercayaan publik.
Oleh karena itu, muncul kebutuhan mendesak akan kolaborasi lintas lembaga antara Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Kolaborasi ini dinilai krusial sebagai benteng pertahanan terakhir untuk memastikan keamanan, transparansi, dan akuntabilitas sistem e-voting di masa depan.
Urgensi Kolaborasi Ancaman Siber vs. Kepercayaan Digital Pemilu adalah pilar utama legitimasi demokrasi. Digitalisasi pemilu, melalui e-voting, menawarkan peluang efisiensi, namun ancaman siber seperti manipulasi data, serangan denial of service (DDoS), atau peretasan server rekapitulasi dapat menjadi bencana bagi proses demokrasi.
Dalam konteks kelembagaan, Bawaslu memegang mandat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 untuk mengawasi seluruh tahapan pemilu, termasuk penggunaan teknologi informasi. Sementara itu, BSSN, berdasar Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2017, bertanggung jawab penuh atas penyelenggaraan keamanan siber nasional dan perlindungan infrastruktur vital.
Keduanya memiliki peran komplementer: Bawaslu menjaga integritas proses politik, BSSN menjamin integritas infrastruktur siber. Tanpa sinergi yang kuat, pengawasan Bawaslu akan pincang di aspek teknis siber, dan pengamanan BSSN berpotensi kurang terintegrasi dengan konteks pengawasan pemilu.
Strategi Kolaborasi Dari Pelatihan Hingga Task Force Hasil analisis yuridis-normatif menunjukkan bahwa kolaborasi Bawaslu-BSSN memiliki landasan hukum yang kuat, mulai dari mandat pengawasan teknologi pemilu hingga prinsip koordinasi antarlembaga negara. Kolaborasi ini dapat diformalkan melalui Nota Kesepahaman (MoU) dan Perjanjian Kerja Sama Teknis (PKT) yang spesifik.
Setidaknya, ada lima bentuk kolaborasi strategis yang harus segera diimplementasikan:
Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM): BSSN harus memberikan pelatihan teknis siber, termasuk forensik digital dan penanganan insiden, kepada pengawas pemilu di seluruh tingkatan. Hal ini penting untuk mengatasi keterbatasan kapasitas teknis pengawas di daerah.
Audit Keamanan Sistem E-Voting: Kedua lembaga wajib melakukan penetration test bersama (uji penetrasi) secara berkala dan menyeluruh terhadap sistem e-voting. Audit ini bertujuan memastikan integritas data suara dan mencegah kerentanan yang dapat dieksploitasi.
Pembentukan Election Cybersecurity Task Force: Unit gabungan ini, yang juga melibatkan KPU dan aparat keamanan, berfungsi memantau ancaman siber secara real-time, menangani insiden, dan melaporkan kerentanan sistem secara terpadu.
Integrasi Early Warning System (EWS) Siber: Sistem peringatan dini ancaman siber yang dikembangkan BSSN perlu diintegrasikan ke dalam mekanisme pengawasan Bawaslu, memungkinkan deteksi dini aktivitas digital mencurigakan pada server pemilu.
Transparansi dan Edukasi Publik Kolaborasi juga harus mencakup edukasi publik, publikasi hasil audit keamanan, dan simulasi pemilu digital untuk membangun kepercayaan publik terhadap sistem elektronik, yang pada akhirnya meningkatkan legitimasi hasil pemilu.
Tantangan dan Manfaat Akhir Tentu saja, implementasi kolaborasi ini tidak lepas dari tantangan. Selain kendala kapasitas SDM di daerah, belum adanya regulasi spesifik mengenai mekanisme pengawasan siber pemilu dan lambannya koordinasi sektoral antarlembaga menjadi hambatan serius. Diperlukan pula Standar Keamanan Nasional yang baku untuk sistem e-voting.
Kendati demikian, manfaat kolaborasi ini jauh lebih besar Aspek Dampak Positif Keamanan Sistem Perlindungan data, pencegahan manipulasi suara, dan pemeliharaan integritas sistem.
Pengawasan Digital Pengawasan berbasis bukti digital (forensik) yang lebih kuat dan akuntabel.
Kelembagaan Transfer pengetahuan, peningkatan kapasitas, dan koordinasi pemerintahan yang baik. Kepercayaan Publik Meningkatnya legitimasi hasil pemilu digital dan penguatan proses demokrasi.
Kesimpulannya, kolaborasi Bawaslu-BSSN bukan lagi pilihan, melainkan keharusan strategis untuk mewujudkan demokrasi digital yang aman dan kredibel. Kerangka hukum formal yang berkelanjutan, seperti MoU atau Peraturan Bersama, harus segera ditetapkan untuk memastikan kolaborasi ini kokoh menghadapi segala transformasi digital pemilu di masa mendatang.(*)
Oleh: Hertaslin Mahasiswa Pascasarjana Fak Hukum Unhas







