Dua Keputusan Prabowo: Menyulut dan Menenangkan Publik

SABER, PALOPO |  (OPINI) Pada 10 November 2025, Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, presiden kedua Republik Indonesia yang memimpin selama 32 tahun era Orde Baru. Tiga hari berselang, pada 13 November, presiden kembali menandatangani surat, kali ini rehabilitasi bagi dua guru di Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Abdul Muis dan Rasnal, yang sebelumnya dijatuhi hukuman penjara karena inisiatif sumbangan sukarela untuk gaji guru honorer.

Dua keputusan yang tampak berdiri sendiri ini, jika diamati lebih dalam, mencerminkan pola komunikasi politik yang cermat: satu tindakan memicu gelombang kontroversi, sementara yang lain menawarkan penawar emosional bagi publik. Apakah ini kebetulan, atau bagian dari strategi yang dirancang untuk mengelola sentimen masyarakat?

Bacaan Lainnya

Warisan Soeharto memang kompleks. Di satu sisi, ia berhasil menstabilkan politik dan ekonomi pasca-keguncangan 1965, membawa pertumbuhan rata-rata 7 persen per tahun, dan membangun infrastruktur nasional yang hingga kini menjadi fondasi pembangunan. Jasa militernya, terutama dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, tak dapat disangkal. Wakil Presiden ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla, dengan tegas menyatakan bahwa jasa Soeharto jauh lebih besar daripada kekurangannya. Namun, di sisi lain, masa Orde Baru tercatat sebagai periode pelanggaran hak asasi manusia berat, pembantaian 1965–1966, kekerasan di Timor Timur dan Aceh serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merugikan negara triliunan rupiah. Nama Soeharto bahkan tercantum dalam Ketetapan MPR Nomor XI/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih, yang baru dicabut pada periode 2019–2024. Bagi keluarga korban dan pegiat demokrasi, gelar pahlawan ini bukan penghormatan, melainkan pengingkaran terhadap semangat reformasi.

Sementara itu, kasus dua guru di Luwu Utara menunjukkan sisi lain dari ketidakadilan sistemik. Pada 2018, Abdul Muis dan Rasnal, guru sosiologi dan kepala sekolah menginisiasi sumbangan sukarela Rp20.000 per siswa, dengan persetujuan komite sekolah, untuk membayar gaji 10 guru honorer yang tak digaji selama 10 bulan. Tindakan ini, yang lahir dari solidaritas kemanusiaan, justru dilaporkan sebagai pungutan liar oleh sebuah LSM.

Setelah divonis bebas di Pengadilan Negeri Makassar pada 2022, Mahkamah Agung mengabulkan kasasi jaksa dan menjatuhkan hukuman satu tahun penjara. Akibatnya, keduanya dipecat sebagai aparatur sipil negara. Kasus ini meledak di media sosial pada awal November 2025, memicu aksi solidaritas guru dan perhatian publik luas. Rehabilitasi presiden, yang memulihkan nama baik dan status kepegawaian keduanya, disambut sebagai langkah keadilan yang telah lama ditunggu.

Di sinilah letak pola yang menarik. Pemberian gelar kepada Soeharto memicu polarisasi: satu kelompok melihatnya sebagai pengakuan atas kontribusi sejarah, kelompok lain sebagai penghinaan terhadap korban pelanggaran HAM. Rehabilitasi guru, sebaliknya, hampir seragam diterima sebagai tindakan mulia yang memperbaiki ketidakadilan. Dengan menempatkan kedua keputusan dalam rentang waktu yang begitu singkat, pemerintah tampak menggunakan hak prerogatif presiden yang diatur dalam Pasal 14 UUD 1945 sebagai alat komunikasi strategis. Tindakan populer terhadap guru berfungsi sebagai penyeimbang emosional terhadap kontroversi Soeharto, sekaligus membangun citra pemerintahan yang peduli terhadap masyarakat, terkhusus profesi guru.

Ini bukan fenomena baru dalam politik. Pengelolaan narasi melalui kontras emosional sering digunakan untuk meredam kritik dan memperkuat legitimasi. Namun, pendekatan ini menyimpan risiko.

Pertama, ia dapat mengaburkan substansi isu rekonsiliasi sejarah Soeharto tertutup oleh euforia kasus guru.

Kedua, ia memperlemah kepercayaan terhadap independensi lembaga hukum, karena intervensi eksekutif meskipun konstitusional dapat dianggap mengesampingkan putusan pengadilan yang sudah inkrah.

Pada hakikatnya, kedua kasus ini mencerminkan tantangan besar dalam demokrasi pasca-reformasi bagaimana menyeimbangkan pengakuan jasa sejarah dengan akuntabilitas atas pelanggaran, serta bagaimana menegakkan hukum tanpa mengorbankan niat baik. Hak prerogatif presiden adalah instrumen konstitusional yang sah, tetapi penggunaannya harus didasarkan pada pertimbangan matang, transparansi, dan dialog publik bukan sekadar manajemen citra.

Masyarakat berhak menuntut penjelasan yang jernih apakah keputusan-keputusan ini lahir dari visi rekonsiliasi nasional yang tulus, atau hanya taktik politik jangka pendek?

Tanpa kejujuran dalam proses dan narasi, kepercayaan publik akan terus terkikis. Di tengah peringatan 27 tahun reformasi, Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar pengelolaan emosi, ia butuh kepemimpinan yang berani menghadapi sejarah dengan penuh tanggung jawab.(*)

Oleh : Ketua LMND Sulsel, Adri Fadli

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *