Ironi Bernama Investasi Bandara Tanpa Negara: Selamat Datang di “Republik” IMIP

SABER, PALOPO  |  (OPINI). Ada kalanya sebuah kawasan industri tidak lagi sekadar zona ekonomi khusus, melainkan menjadi wilayah yang beroperasi di luar jangkauan hukum dan otoritas negara. Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Sulawesi Tengah kini berada pada titik itu.

Di sana, pagar besi tidak hanya memisahkan smelter dari dunia luar, tetapi juga memisahkan sebagian wilayah Republik Indonesia dari konstitusi yang seharusnya berlaku sama di setiap jengkal tanah air.

Bacaan Lainnya

Fakta yang terungkap belakangan ini terlalu mencolok untuk diabaikan. Bandara pribadi di dalam kawasan IMIP, yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada 2019, hingga kini beroperasi tanpa kehadiran Bea Cukai, Imigrasi, maupun Karantina. Bandara pribadi di dalam kawasan IMIP, dimiliki dan dikelola secara swasta oleh PT Indonesia Morowali Industrial Park (PT IMIP) sebagai bagian integral dari operasional kawasan industri seluas 4.000 hektare di Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali.

Meskipun terdaftar di Direktorat Jenderal Perhubungan Udara dengan kode ICAO WAMP dan IATA MWS, fasilitas ini lengkap dengan runway 1.890 meter dan apron 96 × 83 meter, berfungsi lebih sebagai portal pribadi bagi pemiliknya daripada pintu gerbang negara, dengan 534 pergerakan pesawat dan 51.000 penumpang sepanjang 2024 tanpa pengawasan penuh.

Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, pada 20 November 2025, dengan tegas menyatakan: “Tidak boleh ada negara di dalam negara.” Pernyataan itu bukan sekadar retorika, ia adalah pengakuan resmi bahwa ada wilayah di Indonesia yang selama ini luput dari pengawasan negara.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah struktur kepemilikan IMIP sendiri. Menurut data terakhir yang tersedia untuk publik, 74,69 persen saham dikuasai Shanghai Decent Investment (anak perusahaan Tsingshan Holding Group asal Tiongkok), sedangkan hanya 25,31 persen yang dipegang PT Bintang Delapan Investasi, konsorsium lokal. Dominasi ini bukan semata soal angka, melainkan soal siapa yang menentukan arah pengelolaan sumber daya alam strategis dan siapa yang menikmati mayoritas keuntungan dari nikel yang diekstrak dari perut bumi Morowali.

Di lapangan, kontradiksi itu terasa nyata. Ribuan tenaga kerja Indonesia bekerja dengan upah yang jauh di bawah standar internasional, sementara puluhan ribu pekerja asing mendapatkan gaji dan fasilitas berkali lipat lebih baik. Ketika protes muncul, respons yang datang sering kali bukan dari aparat negara, melainkan dari satuan pengamanan swasta yang tidak terikat pada aturan penggunaan kekuatan yang berlaku bagi polisi atau TNI. Tragedi kerusuhan Desember 2023 yang menewaskan dua buruh menjadi bukti paling kelam bahwa hak atas rasa aman pun tercederai di dalam pagar IMIP.

Kita tidak menolak investasi. Yang kita tolak adalah investasi yang membuat negara kehilangan kendali atas wilayahnya sendiri. Ketika sebuah perusahaan dapat memiliki bandara yang tidak diawasi negara, dapat mengatur masuk-keluar orang dan barang tanpa prosedur imigrasi dan kepabeanan, serta dapat mengelola keamanan dengan pasukan bersenjata sendiri, maka batas antara investasi dan penyerahan kedaulatan menjadi kabur.

Pernyataan Menhan Sjafrie dan rencana pelaporan ke Presiden Prabowo Subianto memberi secercah harapan. Namun, harapan itu hanya akan bermakna jika diikuti tindakan nyata: penutupan bandara ilegal, pengambilalihan pengawasan penuh oleh negara, audit menyeluruh terhadap struktur kepemilikan dan praktik ketenagakerjaan, serta penegakan hukum yang tegas terhadap segala bentuk pelanggaran.

Morowali bukan sekadar soal nikel. Ia adalah ujian bagi Republik ini: apakah kita masih mampu menegakkan kedaulatan di atas tanah kita sendiri, atau kita rela menjadi tuan rumah yang hanya mendapat remah-remah sementara tamu menguasai rumah?

Jika jawaban atas pertanyaan itu adalah yang pertama, maka saatnya negara bertindak. Bukan dengan kata-kata, tetapi dengan langkah yang membuat pagar IMIP kembali menjadi sekadar pagar, bukan tembok yang memisahkan sebagian Indonesia dari Indonesia itu sendiri.(*)

Oleh: Mubarak Djabal Tira

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *