SABER, MAKASSAR | (OPINI). Air adalah prasyarat kehidupan. Tanpa air, hak paling dasar kita yaitu hak untuk hidup tidak dapat terpenuhi. Oleh karena itu, air bukan hanya sekadar komoditas yang bisa diperdagangkan, melainkan sebuah hak fundamental yang wajib dipenuhi oleh negara.
Di Indonesia, mandat ini jelas tertulis dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Pasal 28H ayat (1) menyatakan setiap orang berhak untuk hidup sejahtera dan memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sementara itu, Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Dari sini, jelas bahwa negara bukan hanya diberi hak untuk menguasai, tetapi juga memiliki kewajiban aktif untuk menjamin akses masyarakat terhadap air. Kewajiban ini harus dipenuhi, bahkan jika perlu melalui subsidi penuh atau pemberian gratis untuk kebutuhan dasar.
Air sebagai Hak Publik, Bukan Barang Dagangan
Secara teoretis, politik hukum Indonesia mengarah pada keadilan sosial dan pemenuhan hak dasar rakyat. Air, sebagai cabang produksi yang vital, harus tetap berada di bawah kendali negara. Jika air sepenuhnya dijadikan komoditas pasar, maka politik hukum kita telah menyimpang dari prinsip “welfare state”—negara kesejahteraan.
Dalam teori hak fundamental, hak atas air adalah bagian tak terpisahkan dari hak untuk hidup (right to life). Hak ini tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Negara punya kewajiban positif untuk:
Menghormati (to respect): tidak boleh menghalangi akses masyarakat atas air.
Melindungi (to protect): mencegah pihak swasta memonopoli air.
Memenuhi (to fulfill): menyediakan air bagi masyarakat, bahkan secara gratis untuk kebutuhan pokok.
Standar internasional, seperti General Comment No. 15 (2002) dari Komite PBB, juga menegaskan bahwa air harus tersedia dalam jumlah cukup, aman, dapat diakses, dan terjangkau. Contohnya di Afrika Selatan, konstitusi mereka bahkan menjamin hak atas air dan mewajibkan pemerintah menyediakan minimal 25 liter gratis per orang per hari.
Kesenjangan antara Regulasi dan Kebutuhan Rakyat Sayangnya, Undang-Undang Sumber Daya Air (UU SDA) yang ada saat ini masih membuka celah untuk privatisasi. Hal ini bertentangan dengan prinsip bahwa air seharusnya dipandang sebagai “public good” atau barang publik. Jika kebutuhan dasar air dikenai tarif tinggi, negara secara fundamental telah gagal menjalankan kewajibannya.
Norma Konstitusi UUD 1945 mewajibkan negara menguasai air demi kemakmuran rakyat. Ini berarti akses dasar terhadap air tidak boleh dikomersialkan. Kebutuhan pokok rumah tangga seperti air minum, sanitasi, dan pertanian rakyat kecil seharusnya dijamin oleh negara dengan subsidi penuh atau bahkan gratis. Sementara itu, sektor industri dan komersial dapat dikenakan tarif sesuai prinsip keadilan distributif.
Ketidakselarasan UU SDA ini dengan kewajiban negara sangat jelas. UU tersebut tidak secara eksplisit mewajibkan negara memberikan akses gratis untuk kebutuhan dasar, yang berpotensi menyingkirkan rakyat miskin dari akses air. Ini jelas-jelas bertentangan dengan politik hukum kesejahteraan sosial dan hak fundamental atas air.
Jika negara tidak menjamin akses air dasar secara gratis atau bersubsidi, dampaknya akan terasa di seluruh lapisan masyarakat:
Masyarakat miskin harus membayar lebih mahal untuk kebutuhan pokok.
Kesenjangan sosial akan meningkat.
Cita-cita keadilan sosial, sebagaimana tercantum dalam sila kelima Pancasila, gagal terwujud.
Kesimpulan
Pada akhirnya, air adalah hak fundamental rakyat yang tidak bisa diperlakukan sebagai komoditas pasar biasa. Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin akses air bagi seluruh rakyat, termasuk melalui penyediaan gratis untuk kebutuhan dasar rumah tangga.
Pengelolaan air yang berorientasi pasar hanya akan melemahkan peran negara dan berpotensi melanggar hak hidup, hak kesehatan, dan hak lingkungan rakyat. Sudah saatnya kita menempatkan kembali air pada posisinya yang hakiki: sebagai hak fundamental yang wajib dilindungi dan dipenuhi oleh negara.(*)
Oleh: Hertaslin
Mahasiswa Pascasarjana Fak Hukum UNHAS







