SABER, MAKASSAR | (OPINI). Belakangan ini, wacana pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali mengemuka di ruang publik. Isu ini muncul dari berbagai kalangan, mulai dari demonstrasi jalanan hingga percakapan di media sosial, yang mencerminkan ketidakpuasan mendalam terhadap kinerja para wakil rakyat.
Tentu saja, suara-suara ini tidak bisa diabaikan. Namun, sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi konstitusi, penting bagi kita untuk mengkaji isu ini bukan sekadar dari sudut pandang emosional, melainkan dari kacamata hukum ketatanegaraan.
1. Memahami Posisi DPR dalam Sistem Presidensial Indonesia
Indonesia menganut sistem presidensial murni, berbeda dengan sistem parlementer. Dalam sistem presidensial, kekuasaan eksekutif (Presiden) dan legislatif (DPR) berada dalam posisi yang setara dan saling mengawasi. Hubungan ini dikenal sebagai prinsip checks and balances. Keduanya memiliki legitimasi yang kuat karena dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu.
Hal ini berbeda dengan sistem parlementer (seperti di Inggris), di mana eksekutif (Perdana Menteri) bisa membubarkan parlemen jika terjadi krisis politik. Dalam sistem kita, Pasal 7C UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa Presiden tidak dapat membubarkan DPR. Ketentuan ini adalah jaminan konstitusional yang lahir dari pengalaman historis di mana lembaga legislatif sering menjadi korban pembekuan sepihak oleh kekuasaan eksekutif di masa lampau. Oleh karena itu, wacana pembubaran DPR oleh Presiden atau lembaga lain, tanpa melalui amandemen konstitusi, adalah tindakan yang inkonstitusional dan berbahaya bagi demokrasi.
2. Mengapa Pembubaran Kolektif Tidak Ada?
Secara yuridis, tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur mekanisme pembubaran DPR secara kolektif. Konstitusi dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) hanya menyediakan mekanisme untuk mengganti anggota DPR secara individu. Mekanisme tersebut meliputi:
Pemberhentian karena melakukan tindak pidana, pelanggaran etik berat, atau pelanggaran administratif.
Penggantian Antarwaktu (PAW), di mana posisi anggota yang berhenti digantikan oleh calon dari partai yang sama.
Pemilihan Umum Rutin setiap lima tahun sekali, yang merupakan satu-satunya cara untuk mengganti seluruh anggota DPR secara kolektif.
Bahkan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak memiliki kewenangan untuk membubarkan DPR. Putusan-putusan MK justru senantiasa memperkuat posisi DPR sebagai lembaga perwakilan yang harus dilindungi oleh konstitusi. MK tidak memiliki dissolution power. Dengan demikian, tuntutan pembubaran DPR melalui jalur hukum saat ini sama sekali tidak memiliki dasar.
3. Jalan Keluar yang Konstitusional untuk Mengatasi Krisis Legitimasi
Meskipun pembubaran DPR secara inkonstitusional adalah jalan yang keliru, hal itu tidak berarti kita harus pasrah terhadap kinerja yang buruk. Ada berbagai mekanisme hukum yang bisa digunakan untuk menyalurkan ketidakpuasan publik:
Pemilu Berkala: Ini adalah mekanisme paling utama dan sah untuk mengganti seluruh anggota DPR. Ketidakpuasan publik bisa disalurkan melalui bilik suara dengan tidak memilih kembali anggota atau partai yang dianggap tidak representatif.
Penegakan Hukum terhadap Anggota: Jika ada anggota DPR yang terjerat kasus korupsi, penyalahgunaan wewenang, atau pelanggaran etik, instrumen hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, hingga Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) harus bekerja maksimal.
Judicial Review: Jika DPR mengesahkan undang-undang yang kontroversial atau dinilai merugikan publik, masyarakat memiliki hak untuk mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi.
4. Opsi Reformasi Konstitusional (Lex Ferenda)
Jika krisis legitimasi terus berulang dan masyarakat menghendaki perubahan struktural, reformasi konstitusional bisa menjadi jalan satu-satunya yang sah. Ini adalah opsi jangka panjang yang memerlukan amandemen UUD 1945. Beberapa opsi yang bisa dipertimbangkan adalah:
Mekanisme Recall oleh Rakyat: Memberi hak kepada pemilih untuk menarik kembali mandat anggota DPR yang kinerjanya dianggap buruk.
Pemilu Dini Terbatas: Mengatur kemungkinan diadakannya pemilu dini dalam kondisi luar biasa, misalnya jika DPR kehilangan kepercayaan mayoritas rakyat.
Pembatasan Masa Jabatan: Membatasi masa jabatan anggota DPR, misalnya maksimal dua periode, untuk mencegah oligarki dan regenerasi politik.
Pada akhirnya, wacana pembubaran DPR adalah pengingat bahwa publik sangat menantikan kinerja para wakilnya. Namun, setiap upaya yang melampaui batas konstitusi akan berisiko memicu krisis ketatanegaraan. Solusi untuk memperbaiki demokrasi bukanlah dengan melanggar konstitusi, melainkan dengan memanfaatkannya secara cerdas dan berani. Perubahan sejati harus melalui mekanisme yang sah dan demokratis, bukan jalan pintas yang berbahaya.(*)
Oleh: Hertaslin, Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin







