SABER, PALOPO | (OPINI). Belakangan ini, ramai diberitakan di sosial media dan di layar TV. Muhyani seorang peternak kambing membunuh Waldi yang hendak mencuri kambing yang dijaganya. Kejadian itu berada di wilayah Kota Serang, Provinsi Banten.
Muhyani sang peternak kambing berduel dengan Waldi yang hendak mencuri kambing yang dia ternak. Wal hasil Muhyani dapat melumpuhkan Waldi dengan tusukan yang mengenal dada Waldi dengan menggunakan gunting hingga akhirnya meninggal dunia.
Beberapa kalangan menyayangkan tindakan hukum yang dilakukan oleh pihak Kepolisian setempat karena telah melakukan proses hukum dan menjadikan Muhyani sebagai tersangka. Padahal, dia hanya mempertahankan harta benda yang dijaganya dari aksi pencurian.
Sebagai orang yang berkecimpung dalam bidang ilmu hukum pidana, saya memahami apa yang menjadi kegelisahan sebagai masyarakat kita sebab boleh jadi akibat dari ketidakmengertian dan Ketidakpahaman tentang bekerjanya hukum pidana di Indonesia.
Yang menjadi pertanyaan banyak pihak “Bagaimana mungkin Muhyani peternak kambing yang kambingnya hendak dicuri, dijadikan tersangka pembunuhan, sementara ia hanya mempertahankan kambing yang dijaganya dari aksi pencurian”
Dalam hukum pidana dikenal adanya alasan pengecualian hukuman sehingga seseorang tidak dapat dihukum, salah satunya adalah alasan pengecualian umum yang terdapat pada Bab III pasal 44, 48 s.d. 51 KUHP di mana pasal-pasal itu berlaku bagi semua delik yang ada di buku ke 2 KUHP (dari pasal 104 s.d. pasal 488 KUHP) yang mengatur tentang kejahatan.
Muhyani yang membunuh 1 orang pelaku bernama Waldi dari 2 orang pencuri kambing yang dijaganya, masuk dalam rumusan pasal 49 KUHP (pembelaan darurat) yang pada intinya menyatakan, bahwa “siapa yang melakukan perbuatan yang sifatnya membela, tidak boleh dihukum”. Namun, harus memenuhi 3 macam syarat ;
Pertama : perbuatan yang dilakukan itu harus terpaksa dengan maksud untuk mempertahankan atau membela. Jadi, harus ada keseimbangan antara pembelaan dan serangan. Nah, yang dapat menilai semua itu adalah hakim pengadilan bukan Polisi.
Kedua : pembelaan itu hanya untuk serangan pada badan, kehormatan (dalam konteks seksual), barang milik sendiri atau barang milik orang lain.
Ketiga : harus ada serangan yang melawan hak atau serangan yang melawan hukum, Misalnya; pencuri menyerang korbannya dengan senjata tajam.
Terkait dengan peristiwa Muhyani di atas, Polisi yang ditugaskan dan diberikan kewenangan oleh UU untuk menjalankan fungsi penyelidikan dan penyidikan harus menjalankan ke 2 tugasnya itu untuk mengusut sampai tuntas peristiwanya.
Polisi tugasnya hanya mengumpulkan bukti atas suatu peristiwa bukan menghakimi seorang pelaku. Lalu kemudian diajukan ke Penuntut Umum. Apabila Penuntut Umum menganggap penyidikan Polisi lengkap, maka selanjutnya diajukan ke persidangan.
Di sana, di Pengadilan, hakim yang menilai apakah Muhyani, yang membunuh pencuri kambing itu memenuhi unsur pembelaan darurat (vide pasal 49 KUHP) atau tidak. Jika terpenuhi, maka pasti dibebaskan karena bunyi pasalnya demikian. Begitu pula sebaliknya, jika tidak memenuhi unsur pembelaan darurat, maka pasti dijatuhi hukuman.
Sekali lagi, bahwa Penyidik Kepolisian hanya diberi wewenang melakukan penyelidikan dan penyidikan. Meski Polisi mengetahui jika seseorang melakukan pembunuhan karena membela diri, bukan berarti perkaranya dihentikan sebab bukan kewenangan Polisi menilai membela diri atau bukan, tetapi itu wilayah hakim pengadilan untuk menilainya.
Jadi, Polisi dalam konteks penegakan hukum, kerjaannya hanya menyelidik dan menyidik, Tidak boleh, mengambil alih apa yang menjadi kewenangan penuntut umum dan hakim, begitupun sebaliknya. Kemurkaan kita pada setiap pelaku tindak pidana termasuk pelaku pencurian dapat dipahami akan tetapi, kita juga harus memahami bagaimana hukum itu bekerja.
Anggapan masyarakat bahwa hukum itu kejam, ada benarnya. Oleh karena, asasnya menyatakan seperti itu, “Lex dura sed tamen scripta” (Hukum itu kejam tetapi memang begitulah bunyinya) dan asas ini dipahami seluruh negara hukum di dunia, termasuk negara hukum Republik Indonesia.(*)