SABER, PALOPO | (OPINI). Majelis hakim Pengadilan negeri Pandeglang Banten, baru-baru ini membuat putusan yang tidak biasanya.
Terdakwa kasus Revenge porn, Alwi Husain Maolana selain dijatuhi hukuman penjara 6 tahun dan denda 1 miliar rupiah subsider kurungan 3 bulan kurungan.
Alwi juga mendapat tambahan hukuman yakni dilarang mengakses internet selama 8 tahun. Putusan itu luar biasa bagi cara berhukum saat ini.
Bagaimana tidak, selain karena tidak terdapat dalam surat dakwaan, tuntutan penuntut umum, juga tidak terdapat dalam UU ITE.
Putusan tidak boleh mengakses internet, merupakan sesuatu yang baru dan telah menerobos positivisme hukum.
Hal itu mendapat apresiasi bukan saja dari keluarga korban, tetapi juga bagi mereka yang berkecimpung di dunia hukum.
Keluarga korban menuturkan, bahwa hukuman itu menjadi pelajaran penting bagi siapapun, agar lebih bijak berjejaring internet.
Tidak hanya terkait kasus Revenge porn, tapi juga perkara-perkara lain yang berseliweran di dunia maya.
Putusan hakim itu, mengingatkan penulis pada ungkapan Lord Hance Burnett mantan ketua MA Inggris, bahwa “Seorang pencuri kuda tidak digantung karena mencuri kuda itu, tetapi ia digantung agar orang lain tidak ikut mencuri kuda orang lain.”
Ungkapan Burneet di atas ingin memberitahu kepada kita, bahwa seorang pelaku kejahatan diberi hukuman berat selain agar supaya pelaku insyaf, juga agar menjadikan pelajaran bagi orang lain untuk tidak ikut serta melakukan kejahatan yang sama.
Meminjam kalimat Prof. Tjip, bahwa “Bangsa Indonesia memang membutuhkan cara berhukum yang tidak biasa-biasa saja, sesekali hukum tampil dengan membuat keputusan yang luar biasa, kerena tidak sejalan dengan yang selama ini dilakukan”.
Dan, Mahkamah agung Belanda pernah memberikan contoh yang baik. Di mana pada tahun 1919, melalui putusannya mengenai perbuatan melawan hukum yang semula ditafsirkan sebagai melawan UU, berubah menjadi jauh lebih luas, termasuk perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan dalam kehidupan sosial.
Rule breaking atau menerobos hukum sebagaimana dicontohkan Belanda tidak akan bisa terwujud kalau dalam berhukum cara berpikir kita biasa-biasa saja dengan meneruskan praktik yang sebenarnya sudah dirasakan ketidakbenaran dan juga ketidakadilannya.
Sehingga ketika ada pemikiran, bahwa UU telah dibuat oleh badan legislatif dan hakim tidak boleh bertindak macam-macam, cukup jadi corong UU.
Maka, perilaku berhukum seperti itu, didasarkan pada rasionalitas Descartes dan Newton pada abad 17.
Kita berharap dengan adanya putusan majelis hakim pengadilan negeri Pandeglang tersebut, menjadi rujukan atau yang dalam istilah hukum disebut Yurisprudensi, bagi hakim kemudian untuk memutus perkara yang sama dengan harapan tindak pidana semacamnya di dunia maya dapat diminimalisir.(*)