Opini, Nurdin: Perilaku Berhukum

SABER, PALOPO  |  “Kehidupan berlalu lintas mencerminkan mental perilaku warga negara dari negara tersebut”. Demikian ungkapan Prof. J.E Sahetapy. Salah satu makna yang dapat diambil dari kalimat itu, bahwa cara berhukum suatu negara dapat dilihat dari berlalu lintasnya.

Sehingga sebaik apapun suatu teks hukum (baca ; UU) tidak akan menghasilkan apa-apa jika tidak didukung dengan cara berhukum atau perilaku berhukum yang baik pula, yang dalam sosiologi hukum ada istilah “Hukum yang tidur/ditidurkan”

Bacaan Lainnya

Budaya berhukum sangatlah memengaruhi penegakan hukum. Coba kita memerhatikan bangsa Jepang, yang menurut banyak pakar hukum, bahwa di sana hukum dan penegakanya cukup baik sehingga sering kali menjadi rujukan bagi banyak ahli hukum.

Dan dicontohkan; Di mana suatu ketika seorang Jepang dan seorang Amerika, dua orang itu ingin menyeberang jalan namun lampu lalu lintas masih menyala merah. Sementara itu, lalu lintas di jalan sudah sepi. Orang Amerika yang instan, pragmatis itu mengajak si orang Jepang untuk menyeberang saja.

Orang Jepang tetap tidak mau diajak menyeberang seraya berkata, “kalau lampu itu masih merah dan saya menyeberang, muka saya ini mau ditaruh di mana ?” Sebuah adegan sederhana tetapi bermakna sangat dalam.

Di sini orang Amerika menjadi simbol dari perilaku pragmatis, sedangkan orang Jepang menjadi simbol dari berhukum yang didasarkan pada hati nurani.

Bagi orang Amerika atau mungkin juga orang Indonesia, kehadiran teks hukum (baca: lampu lalu lintas) adalah untuk disiasati bagi kepentingan sesaat sedang bagi orang Jepang, sesuatu yang hampir suci.

Pada akhirnya, pandangan Prof Satjipto Rahardjo, bahwa “hukum itu berdiri di atas perilaku manusia, bukan teks. Masyarakat tidak menjadi tertib dan teratur secara substansial, disebabkan kehadiran hukum, melainkan karena perilaku subtansial para anggota masyarakat itu sendiri” (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *