Pokir Palopo: Jembatan Aspirasi Atau Alat Tawar?

SABER, PALOPO  |  (OPINI). Di tengah terik musim kemarau, Kota Palopo seharusnya bergegas menata ulang anggaran untuk mengejar program pembangunan yang tertunda.

Namun, hingga pertengahan September 2025, dokumen Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2025 masih terkatung-katung, belum sampai ke meja Gubernur Sulawesi Selatan untuk evaluasi.

Bacaan Lainnya

Bukan sekadar kelambanan birokrasi, keterlambatan ini mengungkap friksi politik yang menggerus kepercayaan publik. Di pusat sorotan, pokok pikiran (Pokir) anggota DPRD yang seharusnya jadi jembatan aspirasi rakyat kini dicurigai sebagai alat balas budi atau sekadar menjaga loyalitas konstituen.

Pertanyaannya, apakah Palopo sedang menyaksikan ujian integritas pemerintahan lokal, atau permainan politik usang yang mengorbankan rakyat?

Proses Administrasi Terhenti di Meja DPRD

Pada 23 Agustus 2025, DPRD Kota Palopo telah mengesahkan APBD Perubahan dalam rapat paripurna, dipimpin Wakil Ketua I Harisal A Latief, didampingi Wakil Ketua II Alfri Jamil, dan dihadiri Wali Kota Naili serta Wakil Wali Kota Akhmad Syarifuddin.

Anggaran disesuaikan menjadi Rp1.012 triliun, selaras dengan arahan efisiensi dari Surat Edaran Mendagri Nomor 900/833/SJ. Semua fraksi menandatangani berita acara, menandakan pengesahan yang sah.
Namun, hingga 12 September 2025, dokumen itu belum dikirim ke Gubernur Andi Sudirman Sulaiman, melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 yang mensyaratkan pengajuan dalam tiga hari kerja pasca-pengesahan.

Batas akhir ideal 30 September kian dekat, dan akibatnya nyata: program infrastruktur jalan dan talud terhambat, upaya anti-stunting terancam mandek, dan risiko temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengintai, mengancam citra pemerintahan baru Naili-Akhmad.

Pokir: Aspirasi Rakyat atau Komoditas Politik?

Di balik layar, sumber internal DPRD mengungkap friksi yang lebih pelik. Dokumen berita acara pengesahan diduga tertahan karena unsur pimpinan enggan menandatangani, tanpa alasan yang jelas. Sorotan mengarah pada Pokir anggota dewan, yang menurut Pasal 178 Permendagri Nomor 86 Tahun 2017, merupakan kajian pembangunan daerah dari hasil reses atau rapat dengar pendapat.

Pokir bukan dana pribadi, melainkan cerminan aspirasi masyarakat untuk proyek seperti peningkatan infrastruktur fasilitas umum atau rumah ibadah, sebagaimana diatur UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, tahun ini, akibat defisit keuangan daerah alokasi Dinas PUPR Palopo hanya Rp4 miliar terlalu kecil untuk menampung semua harapan yang diserap DPRD.

Kekecewaan merebak karena sebagian Pokir diduga dicoret dari rancangan anggaran. Lebih jauh, kuat dugaan bahwa Pokir telah berubah fungsi: dari alat menyalurkan aspirasi menjadi komoditas politik untuk balas budi atau sekadar menjaga loyalitas konstituen dan megembalikan modal atau utang politik sebelumnya. Praktik ini bukan hal baru di ranah politik lokal. Pokir kerap dijadikan bargaining chip untuk mempertahankan basis massa atau membayar “utang” politik kepada pendukung tertentu, seperti kontraktor atau kelompok masyarakat yang berperan dalam pemilu.

Bayang-Bayang KPK dan Risiko Korupsi

Situasi kian runyam dengan surat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertanggal 29 Agustus 2025 (nomor B/5566/KSP.00/70-75/08/2025), ditandatangani Plt Deputi Agung Yudha Wibowo. KPK meminta data 10 proyek strategis, dana hibah, bantuan sosial, dan nominal Pokir DPRD, dengan tenggat 12 September 2025. Berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2019, KPK berwenang mengawasi pencegahan korupsi, dan surat edaran KPK Juli 2025 tegas melarang DPRD mengintervensi teknis proyek atau meminta gratifikasi terkait Pokir.

Praktik seperti itu, menurut KPK, adalah pintu masuk tindak pidana korupsi. Dengan dugaan Pokir sebagai alat balas budi, pengawasan KPK ini menjadi alarm keras bahwa tarik ulur anggaran di Palopo bukan sekadar isu teknis, tapi potensi pelanggaran hukum yang serius.

Sementara itu, pasangan Naili-Akhmad, yang diusung Gerindra dan Demokrat dengan masing-masing tiga kursi di DPRD, tengah berjuang mewujudkan janji kampanye, termasuk perbaikan infrastruktur. Keterlambatan ini menghambat momentum “Palopo Baru”, jelas merugikan warga Palopo yang membayar pajak dan retribusi, berharap manfaat seperti peningkatan kualitas infrastruktur dan pelayanan lainnya. OPD teknis sudah menyerahkan dokumen ke Unit Layanan Pengadaan (ULP), tapi proses non-teknis jadi penghambat.

Dampak Konflik bagi Publik

Pengesahan APBD Perubahan secara formal mungkin telah usai, tapi ketegangan antara legislatif dan eksekutif menyisakan kerugian bagi masyarakat. Ketidakpuasan atas Pokir yang dicoret, dugaan perubahan nomenklatur, dan kecurigaan bahwa Pokir dijadikan alat balas budi atau maintenance konstituen mencerminkan masalah yang lebih dalam: kurangnya transparansi dan komunikasi.

Hubungan renggang ini bukan sekadar drama politik, tapi ancaman nyata bagi pembangunan. Jika DPRD dan eksekutif tidak segera menjalin sinergi, program-program krusial akan terus tertunda, dan yang rugi adalah warga Palopo.

Ini adalah ujian integritas bagi DPRD dan pemerintahan Naili-Akhmad. Pokir, yang lahir dari suara rakyat, seharusnya menjadi alat untuk mempercepat pembangunan, bukan komoditas politik untuk mempertahankan kekuatan atau membayar utang budi.

Palopo tidak butuh tarik ulur anggaran yang melelahkan, melainkan keberanian untuk menempatkan kepentingan warga di atas ego politik. Sebelum jembatan dan penanganan pengendalian banjir hanya jadi mimpi, DPRD dan eksekutif harus duduk bersama, membuka semua kartu, dan bekerja untuk Palopo yang lebih baik. Jika tidak, ‘konflik kepentingan’ ini bisa jadi kobaran yang menghanguskan harapan publik.(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *