SABER, PALOPO | (OPINI). Di balik gemerlap neon minimarket yang menjamur di sudut-sudut kota, tersembunyi cerita gelap tentang pelanggaran regulasi yang mengancam fondasi ekonomi lokal. Dari investigasi penulis menemukan bahwa puluhan ritel modern di Palopo beroperasi tanpa izin lengkap, mengabaikan zonasi dan pembinaan yang diamanatkan peraturan daerah. Kasus gerai Mie Gacoan yang sempat ditutup sementara awal 2025 oleh Satpol PP atas desakan DPRD setempat menjadi contoh nyata, tapi apakah sanksi pidana pernah menyentuh para pelaku besar ini?
Berdasarkan Peraturan Walikota Palopo Nomor 43 Tahun 2017 yang merupakan perubahan atas Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern, setiap ritel wajib mematuhi zonasi ketat.
Aturan ini mengharuskan jarak minimal 500 meter dari pasar tradisional dan pemukiman padat, sebagaimana dipertegas dalam Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palopo. Namun, realitas di lapangan berbeda. Sebuah opini sebelumnya menyoroti “ritel nakal” yang seenaknya berdiri, merampas pangsa pasar dari pedagang kecil dan warung tradisional. “Patuh atau angkat kaki,” begitu tuntutan masyarakat, tapi mengapa pemerintah kota masih ragu menerapkan sanksi tegas?
Dalam konteks nasional, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2021 mewajibkan Izin Usaha Perdagangan (IUP) untuk ritel modern, dengan ancaman sanksi administratif hingga pidana. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 62 bahkan menetapkan pidana penjara hingga lima tahun atau denda Rp2 miliar bagi usaha tanpa izin, karena berpotensi membahayakan konsumen lewat kurangnya pengawasan kualitas barang. Di Palopo, minimnya operasi pasar gabungan dan peran Bea Cukai yang abai terhadap keberadaan rokok ilegal dan barang kena cukai (BKC) dari pasaran. Kasus Mie Gacoan, misalnya, hanya berujung penutupan sementara, bukan tuntutan pidana di Pengadilan Negeri Palopo. Ini mengingatkan pada kelalaian serupa di sektor lain, Balai POM di Palopo untuk tahun ini, tentang obat ilegal yang marak beredar hanya kerap mengeluarkan peringatan publik tapi minim aksi hukum.
Sumber lain, di kalangan aktivis lokal, mengungkap bahwa retribusi daerah sering bocor karena ritel tak berizin menghindari pajak. “Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi pengkhianatan terhadap UKM yang taat aturan,” kata Aldi. Data dari Ombudsman RI menunjukkan pola serupa: kelalaian aparat bisa berujung sanksi pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Namun, di Palopo, Satpol PP, DPMPTSP dan Dinas Perdagangan lebih sering memilih pendekatan persuasif daripada razia massal. Mengapa? Dugaan keterlibatan oknum pejabat dalam “permainan izin” menjadi bisik-bisik yang perlu diusut lebih dalam.
Penegakan hukum setengah hati ini bukan hanya merugikan ekonomi lokal di mana UKM menyumbang hingga 60 persen lapangan kerja tapi juga menciptakan preseden buruk. Bandingkan dengan kasus tindak pidana biasa membuktikan bahwa pendekatan tegas bisa menciptakan efek jera. Pemkot Palopo harus belajar dari daerah lain, seperti di Jawa, di mana zonasi ritel ketat meningkatkan kontribusi UKM hingga 20 persen terhadap PDB daerah. Razia mendadak, tuntutan pidana, dan transparansi izin adalah kunci.
Informasi dari Dinas Perdagangan Palopo, untuk tahun 2025 baru mengeluarkan 1 rekomendasi penambahan gerai baru. Sementara dilapangan, banyak gerai baru seperti Indomaret, alfamidi dan Alfamart telah beroperasi.
Sudah saatnya Palopo bangun dari tidur panjangnya. Jangan biarkan ritel nakal menggerogoti kota ini. Penegakan hukum bukan opsi, melainkan kewajiban untuk keadilan. Hukum harus tajam ke atas, bukan hanya menusuk ke bawah.(*)
Oleh: Mubarak Djabal Tira