Setengah Mati Membayar Utang: Palopo Terjebak Antara Warisan, Janji, dan Harapan

SABER, PALOPO  | (OPINI). Kota Palopo, di bawah kepemimpinan Wali Kota Naili Trisal dan Wakil Wali Kota Akhmad Syarifuddin, bagaikan tamu yang terpaksa mencuci piring kotor usai pesta yang tak ia nikmati. Warisan utang Rp250 miliar dari era Wali Kota Judas Amir (2013-2023) menjadi beban berat yang kini menghambat pembangunan.

Proyek ambisius seperti Sirkuit Ratona Motor Sport, Islamic Center, Menara Payung memang meninggalkan jejak kemajuan, tetapi juga tunggakan besar terutama untuk Stadion Lagaligo, Gedung Kesenian yang di Hambalangkan dan proyek Dinas PUPR lainnya belum dibayar. Defisit APBD 2024 sebesar Rp8 miliar, meski telah dipangkas dalam APBD Perubahan 2025 senilai Rp1,027 triliun, mencerminkan langkah setengah hati melunasi utang, seperti menggosok piring dengan air seadanya, meninggalkan noda yang sulit hilang.

Bacaan Lainnya

Warga Palopo selain kerap berhadapan dengan jukir liar, diperas keringatnya untuk berkonstribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah, sebagai pondasi kemandirian fiskal, masih bergantung kuat pada pajak dan retribusi. Berdasarkan data Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) hingga November 2024, realisasi PAD mencapai Rp44,42 miliar atau 90,30 persen dari target Rp49,2 miliar, didorong oleh pajak restoran yang sudah 91,09 persen terealisasi. Pada APBD Perubahan 2025, PAD diproyeksikan Rp264 miliar, dengan pajak daerah Rp75,69 miliar (sekitar 28,7 persen), retribusi daerah Rp157,46 miliar (59,6 persen), hasil pengelolaan kekayaan daerah Rp12,96 miliar, dan lain-lain PAD Rp17,74 miliar. Meski menunjukkan peningkatan dari APBD Pokok 2025 (Rp270,43 miliar), kontribusi ini masih terbatas dibanding total APBD, membuat Palopo rentan terhadap fluktuasi transfer pusat. Inovasi digital Bapenda, seperti aplikasi pembayaran pajak online, patut diapresiasi untuk mengurangi kebocoran, tetapi optimalisasi lebih lanjut diperlukan agar PAD tak lagi sekadar penopang, melainkan pendorong utama pemulihan.

Realitas ini menyisakan luka bagi warga Palopo. Banjir rutin, krisis air bersih masih menghantui, dan harga beras premium melonjak bahkan sempat menyentuh harga Rp18.000 per kilogram, membebani kantong masyarakat. Buruknya drainase dan distribusi air yang tersendat sekalipun tarif progresif menjadi bukti nyata ketimpangan. Proyek mangkrak seperti Gedung Kesenian, dan Stadion Lagaligo mencerminkan lemahnya perencanaan dan pengawasan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengidentifikasi masalah, tetapi solusi konkret masih jauh dari harapan.

Dalam kampanye mereka, Naili Trisal dan Akhmad Syarifuddin mengusung visi “Palopo Baru” dengan 25 program prioritas, janji-janji ambisius: peningkatan layanan publik, birokrasi yang berintegritas, menyelesaikan krisis air bersih, memperbaiki infrastruktur untuk mengatasi banjir, dan memacu pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan wisata dan UMKM.

Namun, setelah 46 hari menjabat, janji-janji ini terbentur realitas fiskal dan konflik politik. Langkah awal seperti alokasi Rp30 miliar untuk membayar utang, dengan Rp28 miliar telah dibayarkan sesuai rekomendasi BPK, menunjukkan komitmen, tetapi belum cukup untuk mewujudkan perubahan signifikan yang dijanjikan. Masyarakat kini mempertanyakan sejauh mana janji-janji ini dapat terealisasi di tengah keterbatasan anggaran dan warisan masalah yang kompleks.

Dari sudut pandang hukum, kewajiban melunasi utang diatur ketat. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan, Pasal 40, mewajibkan pemerintah daerah melunasi utang dari anggaran yang tersedia tanpa membebani APBD secara berlebihan. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah, Pasal 29, melarang penundaan pembayaran yang merugikan pihak ketiga.

Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat memicu sanksi administratif hingga pidana, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, terutama jika terdapat indikasi penyalahgunaan wewenang. Secara etis, membayar utang mencerminkan integritas pemerintahan. Kegagalan melunasi utang tidak hanya merusak kepercayaan pihak ketiga, tetapi juga menggerus legitimasi pemerintah di mata publik, yang mengharapkan janji-janji Naili-Akhmad terwujud.

Konflik antara Pemerintah Kota (Pemkot) dan DPRD memperuncing krisis. Penolakan DPRD Kota Palopo terhadap Rancangan APBD Perubahan 2025 pada 16 September 2025, dengan tuduhan Pemkot mengubah anggaran secara sepihak, menunjukkan ketegangan yang tidak produktif. Ketidakhadiran Wali Kota Naili Trisal dalam sidang paripurna RPJMD pada 18 September 2025 memicu walkout tiga fraksi, memperburuk komunikasi. Padahal, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, Pasal 269–271, menegaskan pentingnya dialog bersama dalam pengelolaan anggaran. Kegagalan mematuhi regulasi, seperti Pasal 153 tentang pengawasan anggaran oleh DPRD, berisiko memicu penyesalan melalui mekanisme hukum dan politik.

Di tengah krisis, langkah Pemkot melalui Surat Edaran Nomor 000.1.2/19/Umum Tahun 2025 yang membatasi perjalanan dinas dan belanja nonesensial patut diapresiasi, meski sebagian menilai itu kosmetik. Pemangkasan anggaran, seperti Rp200 juta untuk Samsung Half Marathon, menunjukkan upaya penghematan. Namun, DPRD juga harus berperan konstruktif, bukan hanya menolak tanpa solusi. Masyarakat Palopo, yang terhimpit banjir, krisis air, dan ekonomi lesu, menanti realisasi janji Naili-Akhmad melalui kolaborasi nyata.

Untuk keluar dari krisis, Palopo membutuhkan langkah terukur. Pertama, audit menyeluruh oleh BPK berdasarkan Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 untuk mengungkap akar masalah proyek mangkrak. Kedua, inventarisasi aset daerah sesuai Pasal 312 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 untuk menghasilkan pendapatan tambahan. Ketiga, dialog terbuka antara Pemkot dan DPRD untuk menyepakati APBD Perubahan, dengan transparansi dari Pemkot dan pengawasan konstruktif dari DPRD. Keempat, Pemkot harus memastikan kepatuhan pada regulasi utang, seperti Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005, untuk menghindari sanksi hukum. Kelima, Pemkot perlu menyusun peta jalan jelas untuk memenuhi janji kampanye, 25 program prioritas dan penyelesaian krisis air bersih dan proyek mangkrak, dengan target waktu yang realistis. Keenam, optimalisasi PAD melalui penguatan pemungutan pajak dan retribusi, termasuk sinergi dengan UPTB Pendapatan Wilayah untuk pajak kendaraan bermotor pada 2025, agar kontribusi lokal mencapai lebih dari 30 persen APBD.

Dalam 46 hari kepemimpinan Naili-Akhmad, masyarakat Palopo mendambakan kemajuan nyata: jalan mulus, jembatan kokoh, air bersih mengalir, dan ekonomi bergairah. Visi “Palopo Baru” bukan sekadar slogan, melainkan harapan yang dapat terwujud melalui sinergi berbasis regulasi, transparansi, dan komitmen hukum serta etika. Krisis ini adalah ujian sekaligus peluang. Pilihan ada di tangan pemimpin untuk mewujudkan janji-janji mereka, dan masyarakat menanti tindakan nyata untuk mengubah warisan utang menjadi fondasi harapan.(*)

 

Oleh: Mubarrak DT

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *