SABER, PALOPO | (OPINI). Menuju Indonesia Emas 2045, cita-cita besar bangsa ini ternoda oleh tingkah pejabat publik yang seolah tak lagi mengenal rasa malu. Bergaji dari pajak rakyat, mereka justru kerap memamerkan perbuatan tercela, gaya hidup pamer kekayaan (flexing), atau sekadar makan gaji buta tanpa kinerja nyata. Rakyat berhak menuntut: di mana integritas dan tanggung jawab mereka?
Di era Presiden Prabowo Subianto, langkah berani seorang pejabat tinggi, Menteri Riset dan Teknologi yang mengundurkan diri menjadi angin segar. Ini bukan sekadar tindakan seremonial, melainkan cerminan tanggung jawab moral yang patut menjadi teladan.
Tradisi mundur harus menjadi budaya, bukan pengecualian, bagi pejabat yang gagal menjalankan amanah.
Namun, di daerah seperti Palopo, realitasnya jauh dari harapan. Di bawah kepemimpinan “Palopo Baru,” inspeksi mendadak (sidak) dilakukan, tetapi evaluasi masih menunggu hasil audit. Warisan era sebelumnya, OPD “gemuk”, APBD defisit, dan proyek mangkrak seperti Stadion Lagaligo serta gedung kesenian menjadi bukti nyata buruknya pengelolaan. Proyek ugal-ugalan itu bukan hanya menyia-nyiakan anggaran, tetapi juga mengkhianati kepercayaan rakyat.
Lebih memilukan, pelayanan publik di Palopo kian meresahkan. Pelanggan Perusahaan Air Minum Tirta Mangkaluku (PAM-TM) frustrasi karena hak mereka atas air bersih tak terpenuhi, sementara kewajiban membayar tagihan terus dikejar. Tarif progresif diberlakuan secara sepihak: pakai atau tidak pakai air, biaya beban dan pemeliharaan tetap dibebankan. Ini adalah ketidakadilan yang mencolok, di mana rakyat dipaksa menanggung beban demi keuntungan sepihak.
Parahnya lagi, angka pengangguran di Palopo meningkat, tetapi PAM-TM justru terus menambah karyawan baru tanpa kejelasan proses seleksi. Sementara itu, direksi PAM-TM menikmati gaji dan tunjangan puluhan juta rupiah, tetap mengalir meski kinerja mereka dipertanyakan. Kerja atau tidak kerja, gaji jalan terus, ironi yang kian menyakiti hati masyarakat.
Lebih memalukan lagi, dugaan penyelewengan dana infaq Masjid Nur Afiat oleh oknum komisioner Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Palopo, mencoreng kepercayaan publik. Meski dana tersebut dikembalikan, kasus ini menunjukkan lemahnya integritas dalam pengelolaan dana umat. Kasus ini bukan hanya soal oknum, tetapi juga mencerminkan perlunya reformasi pengelolaan dana umat agar benar-benar amanah.
Ditengah semua ini, warga berjuang menghadapi harga beras yang melonjak hingga Rp18.000 per kilogram, daya beli yang merosot, dan ekonomi yang kian sulit. Jika pejabat publik ingin dihormati, mereka harus menghormati amanah rakyat terlebih dahulu. Pejabat yang seharusnya melayani masyarakat justru terlihat sibuk dilayani oleh fasilitas dan gaji besar, tanpa solusi nyata untuk krisis yang dihadapi warga.
Mundur dari jabatan bukan tanda lemah, melainkan bukti keberanian mengakui kegagalan dan membuka jalan bagi yang lebih kompeten.
Tradisi mundur harus menjadi cerminan budaya malu yang terpuji. Pejabat yang gagal, apalagi yang mempermalukan masyarakat, harus berani mengambil langkah ini tanpa menunggu desakan.
Hanya dengan integritas dan tanggung jawab, Indonesia Emas bukan lagi sekadar mimpi, melainkan kenyataan yang dapat diraih. Masyarakat menanti pejabat yang tak hanya pandai berjanji, tetapi juga berani bertanggung jawab. Saatnya Palopo, dan Indonesia secara keseluruhan, menunjukkan bahwa rasa malu adalah kekuatan, bukan kelemahan.(*)
Oleh: Mubarak Djabal Tira







