Tiga Ahli Waris Didatangkan dari Tahanan, Eksekusi Warisan di Palopo Tetap Ditunda Polisi: Demi Pertimbangan Keamanan

SABER, PALOPO  |  Pelaksanaan sita eksekusi harta warisan berdasarkan putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap di Kelurahan Ponjalae, Kecamatan Wara Timur, Kota Palopo, Sulawesi Selatan, kembali ditunda.

Penundaan kedua dalam sebulan ini terjadi di tengah aksi puluhan massa yang secara terbuka merintangi petugas.

Bacaan Lainnya

Dari pantauan awak media di lapangan, sejak pukul 08.00 WITA Jalan Cakalang Baru sudah dipenuhi sedikitnya 70–100 orang. Mereka memasang spanduk yang bertuliskan penolakan sita eksekusi, tuduhan mafia peradilan sesat, selain itu melakukan orasi dengan pengeras suara, membakar ban bekas di tengah jalan, serta meledakkan petasan berulang kali.

Juru sita Pengadilan Agama (PA) Palopo yang dipimpin Asdar tiba di lokasi sejak pukul 10.00 WITA, namun hingga pukul 16.00 WITA sita eksekusi atas tanah seluas 6.060 m² (termasuk SHM seluas 471 m² atas nama Amiruddin Haring) di Jalan Cakalang Baru tidak dapat dilaksanakan. Penundaan dilakukan atas permintaan Polres Palopo dengan alasan pertimbangan keamanan. Dari pengamatan dilapangan sekitar 50 personel Polres Palopo yang terlihat di lokasi. Mereka membentuk barikade di radius 200 meter dari lokasi, namun tidak melakukan tindakan tegas untuk membubarkan massa atau mengamankan akses petugas pengadilan.

Panitera PA Palopo Nasrah Arief, menyatakan kekecewaannya. “Penundaan pertama seharusnya menjadi bahan evaluasi. Saat itu ada komitmen pengamanan hingga 100 personel, tetapi realisasi di lapangan jauh dari janji tersebut,” ujarnya kepada media di lokasi.

Ia menegaskan bahwa pihaknya akan segera berkoordinasi langsung dengan Polda Sulawesi Selatan. “Kami tetap siap melaksanakan putusan inkrah, tetapi memerlukan jaminan pengamanan yang memadai,” tambah Nasrah.

Sementara itu, Kabag Ops Polres Palopo Kompol Jhon Paerunan menjelaskan bahwa personel yang tersedia hanya sekitar 50 orang, atas pertimbangan keamanan kami sarankan untuk dilakukan penundaan. “Kami menghindari potensi benturan fisik di lapangan. Kami akan mempersiapkan kembali agar pelaksanaan dapat berlangsung aman dan kondusif,” katanya.

Kekecewaan yang lebih dalam datang dari para ahli waris yang menjadi pemohon eksekusi. Salah satunya, Kusmawati (42), salah satu dari tiga ahli waris yang kini berstatus terdakwa dan ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Palopo sejak beberapa bulan lalu.

Dengan pengawalan petugas Kejaksaan Negeri Palopo dan didampingi TNI, Kusmawati hadir langsung di lokasi eksekusi berkat izin keluar sementara dari majelis hakim Pengadilan Negeri Palopo. Ia bersama dua saudaranya dilaporkan oleh Amiruddin Haring saudara kandung sekaligus tergugat dalam perkara warisan dengan tuduhan kekerasan bersama terhadap barang, penyerobotan tanah, dan memasuki rumah orang lain secara melawan hukum berdasarkan Pasal 170 ayat (1) jo Pasal 406 ayat (1) jo Pasal 55 dan/atau Pasal 167 ayat (1) KUHP.

“Saya dan dua saudaraku ditahan hanya karena memperjuangkan hak waris yang sudah diputus inkrah oleh Mahkamah Agung. Kami dikriminalisasi,” kata Kusmawati kepada media dengan suara bergetar, Selasa sore tadi saat hendak naik ke mobil tahanan milik Kejaksaan.

“Kami datang hari ini dengan izin dari pengadilan negeri, berharap tanah warisan orang tua kami akhirnya bisa dilakukan sita dieksekusi. Tapi lagi-lagi ditunda.

Di mana kepastian hukum untuk kami? Putusan inkrah saja tidak bisa dilaksanakan, sementara kami harus meringkuk di tahanan dengan tuduhan perbuatan yang sama sekali kami tidak lakukan,” lanjutnya.

Kuasa hukum pemohon eksekusi, Ardianto Palla, menyesalkan perbedaan antara kesepakatan rapat koordinasi sebelumnya dengan kondisi lapangan. “Dalam rapat sudah disepakati pengamanan 100 personel. Kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya,” ujarnya.

Ardianto juga mengingatkan bahwa kewenangan menunda atau membatalkan sita eksekusi berada di tangan ketua pengadilan setelah berkoordinasi dengan Mahkamah Agung, bukan pada kepolisian secara sepihak.

Ia menyebut penghadangan yang terjadi pada eksekusi pertama (27/10/2025) dan hari ini dapat dikualifikasi sebagai perintangan eksekusi yang memenuhi unsur Pasal 212 dan 216 KUHP serta Pasal 54 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Putusan yang dieksekusi berasal dari perkara warisan dengan nomor 120/Pdt.G/2022/PA.Plp yang telah melalui tingkat banding (99/Pdt.G/2022/PTA.Mks), kasasi (276 K/AG/2023), dan peninjauan kembali yang ditolak pada 2 Juli 2024, sehingga bersifat final dan mengikat.

Sementara itu, Rihal praktisi hukum dari Unanda saat dihubungi media menilai peristiwa ini sangat memprihatinkan.

“Ketika petugas pengadilan diusir, ban dibakar, dan petasan diledakkan di depan polisi tanpa ada tindakan tegas, maka wibawa negara sedang diinjak-injak. Ini bukan hanya soal satu bidang tanah, tapi soal apakah putusan Mahkamah Agung masih punya arti di Republik ini,” katanya.

Kegagalan berulang mengeksekusi putusan inkrah, disertai aksi perintangan terbuka yang tak tertangani, dikhawatirkan memperkuat persepsi penegakan hukum yang tebang pilih serta menggerus fondasi kepastian hukum di mata masyarakat.

Kegagalan berulang dalam melaksanakan putusan berkekuatan hukum tetap ini dikhawatirkan dapat menggerus kepercayaan masyarakat terhadap supremasi hukum dan kepastian hukum di bidang perdata. Pengadilan Agama Palopo menyatakan akan terus berupaya menjalankan amanat putusan inkrah dengan tetap menjaga prinsip keadilan dan ketertiban.(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *