Gerbong Gemuk Di Tubuh Naili-Akhmad: Drama Bagi Birokrasi

SABER, PALOPO |  (OPINI) Pemerintahan Naili Trisal dan Akhmad Syarifuddin di Kota Palopo, yang baru saja menapaki langkah awal pasca-Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada 2024, kini berada di persimpangan krisis.

Di balik gemerlap kemenangan politik yang diraih dengan 47.349 suara atau 50,53% dalam PSU dan belum lama menerbitkan surat edaran tentang gerakan Sholat Duha dan Literasi Al-Qur’an bagi ASN dan pelajar muslim, menunjukkan komitmen untuk memperkuat nilai-nilai moral dan spiritual di tengah tantangan berat yang dihadapi kota berjuluk Idaman ini. Kali ini, bayang-bayang ketidakstabilan birokrasi mulai merangsek. Pemerintahan ini, yang seharusnya menjadi harapan baru bagi Palopo, justru terperangkap dalam pusaran faksi internal, manuver politik lawan, dan dugaan pelanggaran etika birokrasi yang mencoreng integritas kepemimpinan.

Bacaan Lainnya

Faksi Internal dan Kursi Sekda Jadi Rebutan

Kursi Sekretaris Daerah (Sekda) Palopo, yang kini dijabat Firmanza DP, menjadi salah satu titik panas dalam dinamika birokrasi. Firmanza, yang sebelumnya sukses menjalankan tugas sebagai Penjabat (Pj) Wali Kota dengan menjamin pemilu damai, kini berada di bawah tekanan.

Isu pergantian Sekda mencuat, diduga sebagai bagian dari strategi konsolidasi kekuatan faksi pendukung Naili-Akhmad untuk mengamankan loyalitas aparatur. Langkah ini, alih-alih menyatukan, justru memicu friksi di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Faksi-faksi internal birokrasi mulai terbentuk, dengan sebagian mendukung status quo Firmanza, sementara yang lain melihat peluang untuk menggoyang posisinya demi kepentingan politik tertentu.

Tim Bedah APBD: Melampaui Kewenangan, Menggerus TAPD

Kontroversi lain yang mencuat adalah pembentukan Tim Bedah APBD, yang dianggap melampaui kewenangan dan mengambil alih fungsi Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). TAPD, sebagai organ resmi yang bertugas menyusun dan mengelola APBD, seharusnya menjadi tulang punggung pengelolaan keuangan daerah. Namun, kehadiran Tim Bedah APBD ini memunculkan kecurigaan adanya upaya untuk memusatkan kendali anggaran di tangan kelompok tertentu, mengesampingkan prosedur dan transparansi. Langkah ini tidak hanya menciderai etika birokrasi, tetapi juga berpotensi melanggar regulasi, menciptakan preseden buruk bagi tata kelola keuangan daerah. Bukankah sebuah pemerintahan yang baru lahir seharusnya menjahit kepercayaan, bukan menggunting tata kelola dengan keputusan sembrono.

Firmanza: Benteng Stabilitas yang Terancam

Di tengah gejolak ini, Firmanza DP layak mendapat sorotan positif. Sebagai Pj Wali Kota, ia berhasil mengawal pelaksanaan pemilu dengan damai, sebuah pencapaian yang tidak boleh dipandang sebelah mata di tengah polarisasi politik yang tajam. Namun, keberhasilan ini kini terancam pudar di bawah bayang-bayang tekanan politik untuk menggantikannya. Firmanza, dengan pengalamannya, seharusnya menjadi aset bagi pemerintahan Naili-Akhmad untuk menjaga stabilitas birokrasi. Sekalipun kabar ia memang akan bergeser mencari suasan baru. Sayangnya, isu pergantian Sekda menunjukkan bahwa kepentingan politik jangka pendek lebih diutamakan ketimbang keberlanjutan tata kelola yang baik.

Penyusup dan Manuver Politik: Ancaman dari Dalam dan Luar

Pemerintahan Naili-Akhmad juga dihadapkan pada ancaman penyusup yang berupaya memecah belah kelompok pendukungnya. Dinamika ini tidak lepas dari manuver lawan politik, khususnya kelompok yang berseberangan , meski kalah dalam PSU, tetap memiliki basis kuat dan pengaruh di Palopo. FKJ-Nurhaenih, yang secara elegan mengucapkan selamat atas kemenangan Naili-Ome, tampaknya tidak sepenuhnya mundur dari kancah politik. Manuver halus mereka, diduga melalui jaringan birokrasi, relawan dan simpatisan, berpotensi menggoyang konsolidasi internal kubu Naili-Akhmad.

Selain itu, peran Ubas dan Fredrick Kalalembang, tokoh politik yang memiliki pengaruh di Pilwalkot Palopo, juga tidak bisa diabaikan. Sebagai figur yang berpengalaman, Ubas dan Fredrick Kalalembang menjadi aktor di balik layar yang memengaruhi dinamika politik lokal, baik sebagai pendukung maupun lawan potensial. Keberadaannya menjadi pengingat bahwa politik Palopo tidak pernah sederhana; setiap langkah selalu diwarnai intrik dan strategi.

Bayang-bayang Trisal Tahir dan Ancaman Musuh Bersama

Di balik semua ini, bayang-bayang Trisal Tahir, suami Naili yang didiskualifikasi Mahkamah Konstitusi, masih membayangi pemerintahan baru. Naili, yang awalnya dianggap sebagai representasi perjuangan Trisal, kini justru terancam menjadi musuh bersama. Keterlibatannya yang kuat dalam kampanye suami dan LHKPN yang wow, serta pengalaman bisnisnya sebagai Komisaris Utama Aweidhia Group memang memberi legitimasi politik, tetapi juga memunculkan persepsi bahwa ia hanyalah “boneka” Trisal. Persepsi ini, jika tidak dikelola dengan baik, dapat memicu resistensi dari masyarakat dan birokrasi, terutama jika keputusan-keputusan kontroversial seperti Tim Bedah APBD terus berlanjut.

Etika Birokrasi di Ujung Tanduk

Naili sendiri, dalam pidato pertamanya sebagai Wali Kota, menegaskan pentingnya menjunjung etika birokrasi dan melayani masyarakat dengan hati. Namun, realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya. Pembentukan Tim Bedah APBD, tekanan terhadap kursi Sekda, dan dugaan faksionalisme dalam birokrasi adalah indikasi bahwa etika birokrasi sedang diuji. Jangan seperti menggunting kain dalam lipatan, tindakan-tindakan ini merusak dari dalam. Pemerintahan yang baru lahir ini harus segera membuktikan bahwa mereka tidak hanya pandai berjanji, tetapi juga mampu menjalankan roda pemerintahan dengan integritas, transparansi, dan profesionalisme.

Pembiayaan Politik: Harga Mahal Dua Kali Pemungutan

Sangat dipahami, Pilkada Palopo, yang harus dilakukan dua kali karena PSU, meninggalkan luka finansial. Pembiayaan politik yang mahal ini bukan hanya beban bagi kandidat, tetapi juga bagi masyarakat yang mengharapkan hasil nyata dari proses demokrasi. Dana yang tersedot untuk kampanye seharusnya dialihkan untuk pembangunan, bukan untuk memperpanjang drama politik.

Palopo Baru yang Ingin Disobek: Menang Rasa Kalah ?

Momentum hari kemerdekaan ini mesti dinikmati semua pihak, kemenangan ini bukan milik sekelompok. Tapi, semua masyarakat Palopo. Pemerintahan Naili-Akhmad memiliki peluang emas untuk membawa perubahan positif bagi Palopo, sebagaimana visi “Palopo Baru” yang digaungkan Akhmad Syarifuddin. Namun, tanpa langkah tegas untuk meredam faksi internal, menghentikan manuver yang melanggar kewenangan, dan menjaga etika birokrasi, visi tersebut hanya akan menjadi slogan kosong. Waspada terhadap penyusup, baik dari dalam maupun luar, harus menjadi prioritas. Naili Trisal, sebagai Wali Kota perempuan pertama di Sulawesi Selatan, memiliki tanggung jawab besar untuk membuktikan bahwa kepemimpinannya bukan sekadar kelanjutan bayang-bayang Trisal Tahir, tetapi sebuah tonggak sejarah baru bagi Palopo.

Kini, pertanyaan besar menggantung: akankah Naili-Akhmad mampu merangkul semua elemen, termasuk lawan politik seperti FKJ, RMB, dan PD, serta aktor seperti Ubas Unru Baso dan Fredrick Kalalembang, untuk membangun Palopo yang bersatu. Ataukah mereka akan terjebak dalam gerbong gemuk ambisi politik, yang justru membawa Palopo ke jurang ketidakstabilan? Biar waktu yang akan menjawabnya.(*)

Oleh: Mubarak Djabal Tira

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *