Nurdin : Mulut “Manis” Rocky Gerung

SABER, PALOPO  |  OPINI. Baru-baru ini viral di media sosial ucapan Rocky Gerung yang diduga telah menghina Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo. Rocky Gerung mengumpat, saat berorasi di acara persiapan aksi akbar 10 Agustus 2023.

Dia mengatakan, bahwa “Begitu Jokowi kehilangan kekuasaan dia jadi rakyat biasa, enggak ada yang peduli nanti. Tapi ambisi Jokowi adalah pertahankan legacy. Dia masih ke China nawarin IKN. Masih mondar-mandir dari koalisi ke koalisi lain, cari kejelasan nasibnya,”

Bacaan Lainnya

“Dia pikirin nasibnya sendiri, dia enggak pikirin kita. Itu bajingan yang tolol. Kalau dia bajingan pintar, dia mau terima berdebat dengan Jumhur Hidayat, tapi bajingan tolol sekaligus pengecut. Bajingan tapi pengecut,” tutur Rocky Gerung.

Komentar para pakar pun ramai menghiasi pemberitaan. Ada yang berkomentar, bahwa pernyataan Rocky Gerung itu adalah sebuah bentuk penghinaan. Namun, tidak sedikit pula yang mengatakan pernyataan itu bukanlah merupakan penghinaan.

Salah satu di antaranya pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar. Dia mengatakan, bahwa “Pernyataan Rocky Gerung harus ditempatkan sebagai kritikan. Sebab yang disasar akademisi UI tersebut adalah sosok Jokowi sebagai presiden, bukan pribadi”

Mungkin Abdul Fickar lupa, bahwa menghina dan mengkritik adalah dua kata yang berbeda sehingga dengan sendirinya, maknanya pun berbeda. Misalnya, kalau Anda mengatakan “Si X adalah bajingan yang tolol, pengecut dan seterusnya”

Orang yang tidak pernah belajar hukum pun pasti mereka sependapat, itu adalah penghinaan dan dapat dipidana. Tetapi kalau Rocky Gerung, misalnya, mengatakan “Pemerintahan saat ini tidak berjalan efektif, angka kemiskinan meningkat. Harusnya pemerintah berbuat seperti, bla…bla.. agar supaya dapat meminimalisir angka kemiskinan.”

Hal itu merupakan kritikan dan itu tidak dapat di pidana. Sehingga pandangan Abdul Fickar tersebut kurang tepat sebab menyimak apa yang disampaikan Rocky Gerung, tidak pernah menyebut jabatan tetapi dia menyebut nama orang (pribadi).

Coba sekarang kita balik kalau misalnya, penulis mengatakan bahwa “Rocky Gerung adalah bajingan yang tolol, pengecut” Pertanyaannya, apakah itu bukan penghinaan ? Apakah yang penulis sasar adalah Rocky secara pribadi atau dalam kapasitasnya sebagai akademisi UI ?

Jika, Abdul Fickar mengatakan itu adalah penghinaan (Dan memang penghinaan) lalu apa bedanya dengan umpatan Rocky Gerung terhadap Presiden Jokowi ? Di alam demokrasi bukan berarti kita bebas, sebebas-bebasnya berbicara tanpa batasan, tanpa aturan.

Oleh karena, salah satu pilar penyangga demokrasi adalah supremasi hukum sehingga setiap tindakan tidak terkecuali ucapan harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Bangsa ini adalah bangsa yang beradab kalaupun umpatan Rocky Gerung itu, misalnya, tidak termasuk dalam tindak pidana akan tetapi sebagai bangsa yang beretika, hal itu merupakan perbuatan tercela apalagi diucapkan oleh seorang akademisi.

Yang juga terlupakan oleh Abdul Fickar, bahwa dalam hukum pidana dikenal istilah mala in se. Bermakna, bahwa suatu perbuatan jahat bukan hanya karena diatur dan disebut jahat di dalam UU, akan tetapi perbuatan itu memang merusak karena menabrak kewajaran, bertentangan dengan moral, dan melanggar prinsip umum kehidupan masyarakat yang beradab.

Terakhir, kata guru saya, bahwa “Mengejek, menghina atau mengolok-olok orang lain pada hakikatnya bukan menjelaskan siapa yang diejek, dihina atau diolok-olok, tetapi menjelaskan siapa diri Anda”. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *