SABER, PALOPO | (OPINI) Di dalam UUD 1945 jelas dinyatakan, bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Dengan demikian, maka yang hendak dibangun oleh bangsa ini adalah negara hukum bukan yang lain. Sehingga saat itu pula, hukumlah yang berkuasa.
Akan tetapi bukan berarti setiap permasalahan mesti diselesaikan dengan hukum apalagi hukum pidana seperti pandangan Prof. Jimly Asshiddiqie, bahwa “Konstitusi kita itu bukan hanya Constitusional law tapi Constitusional Ethies”.
Negara ini sarat dengan hukum terlebih khusus lagi undang-undang. Itulah mengapa sebagian masyarakat kita, ketika berbicara mengenai hukum penafsirannya hanya sebatas undang-undang. Padahal undang-undang hanyalah bagian kecil dari hukum itu sendiri.
Dan pemikiran seperti itu, tidaklah keliru. Oleh karena, salah satu negara dengan regulasi terbanyak adalah Indonesia.
Lantas, apakah penegakan hukum lebih baik dengan banyaknya undang-undang ? Anda dapat menyaksikannya sendiri.
Penulis berpandangan, bahwa bukan dengan banyaknya undang-undang penegakan hukum bisa lebih baik namun yang perlu mendapat perhatian dan perubahan adalah cara pandang dalam berhukum yang tidak hanya terbelenggu pada bunyi teks pasal demi pasal, kita harus berani keluar dari belenggu itu, demi keadilan semua pihak.
Kritik Prof. Satjipto Rahardjo, bahwa dengan semakin banyaknya peraturan dan prosedur, maka proses pencarian kebenaran dan keadilan menjadi terkubur oleh massa perundang-undangan tersebut.
Sejurus dengan pameo hukum klasik, bahwa “Semakin banyak peraturan, semakin banyak pelanggaran dan ketidakadilan”.
Semestinya para penegak hukum tidak hanya mengikuti bunyi teks pasal undang-undang belaka melainkan mencoba menjadikan undang-undang itu sebagai inspirasi dan panduan moral untuk secara kreatif bertindak lebih maju.
Mengapa demikian ? Sebab di atas hukum ada hukum. Apa itu ? Kata Artidjo Alkostar, yakni kepantasan. Hal ini telah dibuktikan semasa dia menjadi advokat, menolak untuk mendampingi seorang anak ketika hendak menggugat orang tuanya.
Artidjo Alkostar yang dikenal dengan integritasnya itu, menolak dengan dalih tidak pantas anak menggugat orang tuanya hanya karena pembagian harta warisan. Kata Artidjo, “Dari segi hukum mungkin bisa tapi dari segi moral, itu tidak pantas”.
Apa yang dicontohkan oleh mantan hakim agung itu, selayaknya menjadi rujukan dan dipraktikkan oleh penegak hukum sebab harapan masyarakat, menginginkan adanya perubahan pola pikir para akademisi dan terutama pola pikir penegak hukum agar dalam menegakkan hukum tidak hanya mengacu kepada bunyi dan teks undang-undang.
Melainkan perlu adanya terobosan yang mengedepankan keadilan bagi semua pihak, yang oleh Prof. Satjipto diistilahkan, hukum yang progresif. Hal ini penting, mengingat di dalam sebuah perundang-undangan, Anda tidak akan pernah menemukan keadilan. Oleh karena, keadilan hanya ada di hati nurani.(*)