SABER, PALOPO | (Opini). Beberapa hari belakangan ini, hampir semua media lokal memberitakan terkait pemerkosaan terhadap anak, di mana menurut pemberitaan bahwa delapan orang pemerkosa anak dibebaskan oleh pihak penyidik Polres Palopo.
Membaca bahwa pemerkosa dibebaskan, tentu naluri kemanusiaan kita akan terganggu dan yang muncul adalah amarah. Mengapa demikian ? Sebab asumsi kita, bahwa si perempuan dipaksa dengan menggunakan kekerasan untuk melayani kedelapan pemerkosa tersebut.
Akan tetapi, benarkah pemerkosaan sebagaimana judul berita yang ramai di media ? Tentu penyidiklah yang mengetahui persis akan peristiwa itu sebab merekalah yang memeriksa mulai dari TKP, saksi-saksi, anak sebagai pelaku, visum et repertum, dan sebagainya.
Harus bisa dibedakan, pemerkosaan dan persetubuhan sebab secara prinsip adalah dua hal yang menurut hukum pidana, berbeda. Pada pemerkosaan ada unsur paksaan atau kekerasan, yang dalam bahasa KUHP “Menggunakan tenaga yang tidak kecil secara tidak sah”.
Misalnya, seorang perempuan dipaksa melayani hasrat seksual seorang laki-laki atau lebih. Jika, jumlahnya sampai delapan orang, tentu ada yang memegang kedua tangannya, ada yang menutup mulutnya, memegang kedua kakinya, dan seterusnya.
Akan tetapi jika kita berbicara tentang persetubuhan, itu lebih pada suka sama suka, sama-sama menginginkan perbuatan itu dilakukan, dengan kata lain tidak ada unsur paksaan atau kekerasan. Perbuatan itu dilakukan layaknya sepasang suami istri.
Pada pemerkosaan ada kekerasan fisik di situ, jika tidak terdapat kekerasan bukan merupakan pemerkosaan yang jelas, bahwa pemerkosaan sudah pasti persetubuhan tetapi persetubuhan belum tentu pemerkosaan.
Berdasarkan yang saya baca dari pemberitaan, bahwa semua pelaku juga masih dibawah umur atau sebaya dengan anak korban. Jika kita membaca dan memahami UU Sistem Peradilan Pidana Anak nomor 11 tahun 2012, kita akan sepekat bahwa UU itu seratus persen melindungi anak
Di dalamnya ada sepuluh asas hukum yang harus atau mutlak menjadi acuan dalam penegakan hukum terhadap anak, satu di antaranya adalah asas kepentingan terbaik bagi anak. Hadirnya asas ini oleh pembuat UU meyakini, bahwa anak dapat saja melakukan perbuatan menyimpang. Misalnya, melakukan perbuatan persetubuhan.
Asas ini memberi pemahaman kepada kita, bahwa setiap pengambilan keputusan harus memerhatikan tumbuh kembang anak. Penegak hukum termasuk di dalamnya Kepolisian, juga harus memastikan bahwa asas ini dilaksanakan dengan memastikan kepentingan terbaik anak korban tidak dikesampingkan, dan kepentingan terbaik bagi anak sebagai pelaku tindak pidana juga harus terpenuhi.
Asas hukum lain di dalam UU tersebut menyebutkan, bahwa perampasan kemerdekaan dan pemidanaan terhadap anak adalah sebagai upaya terakhir. Maknanya, bahwa pembalasan terhadap perbuatan anak dengan pemenjaraan adalah upaya terakhir, sudah tidak ada jalan lain yang dalam ilmu hukum disebut ultimatum remedium.
Asas hukum dalam sebuah perundang-undangan memegang peranan yang sangat penting sebab dari asas itulah melahirkan norma hukum dan dari norma hukum melahirkan aturan hukum atau peraturan.
Itulah mengapa dalam setiap peraturan atau perundang-undangan, asas hukum senantiasa berada pada pasal 2 setelah ketentuan umum, mendahului peraturan-peraturan selanjutnya yang ada dalam sebuah UU
Yang kita baca di media, apakah benar pemerkosaan atau persetubuhan, adalah ranah penyidikan dan penyidik tidak akan membeberkan subtansi perkara itu ke publik, sebab seorang penegak hukum yang memahami betul akan tugasnya, bicaranya akan selalu terukur sebagaimana keinginan UU.(*)