SABER, PALOPO | (OPINI) Dulu waktu kita masih berstatus sebagai pelajar apalagi di saat masih duduk di bangku sekolah dasar, ketika ada pelajaran yang tidak kita suka, gurunya galak. Pas pelajaran dia, ada pengumuman, “Bapak guru tidak masuk kelas, anak-anak boleh pulang”
Senang, gak ? Ya, tentu senang, kenapa senang ? Karena kita boleh pulang, orang pulang pasti senang. Contoh lagi, waktu lebaran masyarakat pulang mudik. Senang, gak ? Ya, tentu senang. Kenapa senang ? karena pulang. Orang pulang, senang.
Sekarang, selesai hidup di dunia, orang pulang kepada Allah. Senang, gak ? Tentu ada yang sudah mulai ragu menjawabnya.
Mau bilang senang, takutnya besok. Mestinya, senang. Wong, kita pulang. Apa yang membuat kita takut pulang yang satu ini ?
Oleh karena kita ini mencintai sesuatu terlalu berlebihan, berakar di hati. Datang saatnya pulang, tidak siap menghadapi perpisahan, ada yang bergantung di hati sehingga pulang jadi berat, kalau cinta Allah sepenuhnya, cinta alam seperlunya. Pulang jadi enak.
Tulisan di atas adalah potongan ceramah Almarhum K.H. Zainuddin M.Z. yang lebih akrab dengan panggilan Kiayi sejuta umat, kebetulan saya atau mungkin juga Anda yang seumuran dengan saya sangat menyukai ceramah-ceramah agama yang dibawakannya semasa hidupnya.
Saya berpandangan, bahwa takutnya kita pada pulang yang satu itu atau pada kematian sebab kita sedang berada pada zona nyaman (comport zone). Seseorang yang sudah berada pada zona nyaman, hampir tidak seorang pun yang ingin keluar dari sana.
Padahal di luar sana, ada kemungkinan jauh lebih baik. Seekor burung yang dipelihara oleh tuannya selama bertahun-tahun, diberi makan, dimandikan, dijemur, dan seterusnya. Ketika pintu sangkarnya dibuka, ia tidak akan begitu saja keluar. Kenapa demikian ? Sebab burung itu sudah merasa nyaman.
Sementara, ia tidak tahu kalau di luar sana bumi ini jauh lebih luas. Tersedia makanan apa saja baginya sehingga ia bisa makan apa saja, kapan saja, bisa mandi kapan saja sekehendak hatinya. Demikian halnya dalam sebuah institusi, misalnya di kantor.
Konon, ada bagian tertentu yang ketika berada di tempat tersebut, mereka enggan untuk berpindah tempat sebab khawatir jangan-jangan tidak seenak ini, atau jangan-jangan kebutuhannya tidak terpenuhi jika berada di tempat yang baru.
Sehingga mereka mempertahankan tempat itu, bagaimana pun caranya termasuk cara-cara yang tidak etis, menyogok misalnya. Agar tetap berada pada tempatnya.
Padahal dia tidak tahu, bahwa boleh jadi di tempat yang baru itulah dia mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya. Itulah bagian kecil, contoh ketika berada pada zona nyaman.
Kematian adalah sesuatu yang pasti dan sesuatu yang pasti itu adalah dekat. Demikian suatu hari seorang guru yang dikenal bijak bertanya kepada muridnya “Hai anak-anak, apakah yang paling dekat denganmu?” Jawaban murid pun bermacam-macam dan asal-asalan.
Lalu pak guru menjelaskan, bahwa yang paling dekat itu adalah kematian. Tidak ada yang paling pasti mengadakan kita, kecuali kematian, sementara rencana yang lain masih tetap memiliki kemungkinan untuk berubah.
Sedangkan yang paling jauh, hai anak-anak adalah waktu yang telah berlalu, meski hanya semenit, tidak mungkin diraih kembali.
Prof. Komaruddin Hidayat pernah berkata, bahwa “Dunia ini kadangkala tampil ibarat airport.
Kita semua sama-sama berada di ruang tunggu (waiting room) menunggu jam keberangkatan (take off) menaiki pesawat yang rute perjalanannya melewati batas dunia, namun kita mesti masuk dulu melewati pintu kematian (mortality gate).(*)