SABER, MAKASSAR | (OPINI). Pemilu 2024 telah usai dengan tantangan logistik luar biasa, melibatkan 204 juta pemilih. Namun, mata kita kini harus tertuju ke tahun 2029, di mana sistem pemilu harus berani menyongsong demokrasi digital. Sinyal kesiapan digital ini sebenarnya sudah muncul dari basis paling fundamental Pemilihan Ketua OSIS di sekolah-sekolah, terutama yang telah menerapkan electronic voting (e-voting), seperti di Sulawesi Selatan.
Praktik e-voting di tingkat sekolah bukan sekadar gimmick atau modernisasi artifisial, melainkan laboratorium kecil bagi masa depan politik kita. Pemilu OSIS berbasis komputer melatih siswa sebagai pemilih pemula dan penyelenggara, mengajarkan integritas sistem digital, dan yang paling penting, mampu merefleksikan prinsip LUBER JURDIL (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil) dalam konteks digital.
Lantas, mengapa inovasi di tingkat sekolah ini penting bagi agenda nasional 2029?
E-Voting OSIS: Suara Kebutuhan Sosial
Transformasi digital yang didorong teknologi ini dari bilik suara kertas ke komputer sekolah adalah suara kebutuhan sosial untuk efisiensi, akuntabilitas, dan partisipasi yang lebih tinggi. Studi kasus di Sulawesi Selatan membuktikan e-voting dapat berjalan transparan, dengan tata kelola panitia yang jelas dan pengumuman hasil secara real-time.
Kebutuhan ini selaras dengan Teori Hukum Progresif Satjipto Rahardjo. Profesor Rahardjo menekankan bahwa hukum harus melayani manusia dan keadilan, bukan sebaliknya. Artinya, ketika masyarakat menemukan cara yang lebih baik, efisien, dan inklusif untuk berdemokrasi melalui teknologi, hukum tidak boleh kaku dan harus segera menyesuaikan diri.
Ironisnya, saat ini Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu belum secara eksplisit mengatur e-voting. Teks undang-undang yang bisu ini menciptakan risiko hukum, mulai dari inkonsistensi legalitas hingga tantangan konstitusional di Mahkamah Konstitusi. Dalam pandangan progresif, kerangka hukum kita saat ini sedang “stagnan” di tengah derasnya arus digital.
Menagih Keberanian Hukum Progresif
Pengalaman e-voting OSIS memberikan kita dua pelajaran penting yang harus segera ditindaklanjuti secara progresif:
Pertama, Reformasi Regulasi yang Berani.
Keberhasilan praktik e-voting di sekolah menunjukkan bahwa secara teknis, ini layak diperhitungkan. Oleh karena itu, hukum tidak boleh membiarkan inisiatif bermanfaat ini tanpa payung. Hukum progresif menuntut agar segera dilakukan revisi atau amandemen UU Pemilu untuk memberikan landasan hukum yang eksplisit dan kuat bagi penerapan e-voting nasional. Teks hukum harus “dibongkar” agar mampu memfasilitasi kemajuan teknologi demi kepentingan publik yang lebih besar, bukan malah menjadi penghalang.
Kedua, Peran Sentral Bawaslu dalam Integritas Digital. Transisi ke e-voting akan menggeser fokus pengawasan. Bawaslu tidak lagi hanya mengawasi bilik suara fisik, tetapi harus bertransformasi menjadi Pengawas Siber Pemilu.
Peran Bawaslu harus diperluas secara progresif untuk:
Audit Keamanan Siber, Mengawasi dan memverifikasi sistem enkripsi (end-to-end) serta protokol keamanan digital yang diterapkan KPU, bekerja sama dengan BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara).
Penyelesaian Sengketa Digital: Mengembangkan mekanisme verifikasi hasil yang terbuka dan dapat diaudit secara forensik jika terjadi klaim manipulasi digital. Bawaslu harus menjadi “Pengadilan Pemilu Digital” yang cepat dan kredibel untuk mencegah konflik politik dan sosial yang dipicu oleh distrust terhadap sistem elektronik.
Ketiga, Keadilan Akses yang Progresif.
Tentu, implementasi e-voting skala nasional menghadapi tantangan besar, terutama masalah kesenjangan infrastruktur TIK di daerah 3T. Hukum progresif menolak teknologi yang menciptakan diskriminasi. Solusinya adalah mengadopsi sistem hibrida (hybrid system). Pendekatan ini adalah perwujudan keadilan progresif: teknologi dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk efisiensi, tetapi hak pilih dan keadilan akses tetap menjadi prioritas utama, dengan Bawaslu memastikan kesetaraan standar di kedua sistem.
Momentum Pemilu 2029 Dengan potensi 5,37 juta siswa SMA yang sudah akrab dengan e-voting OSIS, Pemilu 2029 adalah momentum emas untuk transisi digital. E-voting di sekolah telah menjadi sarana vital literasi politik digital, melatih generasi muda untuk percaya pada integritas sistem yang didukung teknologi.
Pemerintah dan DPR tidak perlu lagi menguji coba dari nol. Mereka hanya perlu merespons praktik baik yang sudah dilakukan anak-anak sekolah. Jika sistem pemilu OSIS saja mampu menerapkan prinsip transparansi dan efisiensi, maka sudah saatnya KPU dan Bawaslu didukung regulasi yang memadai untuk membawa sistem ini ke tingkat nasional, bertransformasi menjadi lembaga pengawas yang siap menghadapi ancaman hacker dan klaim sengketa di ranah digital.
Sudah waktunya kita melangkah maju. Kita harus memastikan bahwa kerangka hukum kita tidak menjadi fosil di era digital, melainkan agen transformasi yang progresif, menjamin Pemilu 2029 menjadi puncak dari demokrasi digital Indonesia.(*)
Oleh: Hertaslin Mahasiswa Pasca Sarjana Unhas







