SABER, PALOPO | OPINI. Sejarah keberadaan VOC pada Bumi Nusantara pada mulanya berkedok investasi, namun telah membawa malapetaka besar bagi bangsa ini selama ratusan tahun, dimana awalnya mereka hanya menyewa lahan kemudian mempekerjakan penduduk setempat serta membuat pabrik.
Seiring berjalannya waktu maka lambat laun VOC mendatangkan militer dari Belanda dan melakukan pengusiran terhadap penduduk di suatu daerah dengan alasan mengamankan investasi Belanda di Bumi Nusantara ini.
Saat ini apakah sejarah tidak sedang terulang kembali, dimana iklim investasi di hampir semua daerah tumbuh, namun tidak berdampak apa-apa terhadap pertumbuhan ekonomi secara nasional kecuali hanya pada sektor tenaga kerja saja.
Utang pemerintah yang semakin menumpuk, UKM menjadi mandul, utang BUMN makin tidak terkendali. Lantas dimana hebatnya investasi asing itu.
Padahal negeri ini tidak hanya mempunyai cadangan mineral tambang dan sumber daya alam yang melimpah utamanya nikel namun negeri ini juga dianugerahi lautan yang sangat luas sebab persis berada pada posisi ditengah lautan dunia dan berada tepat diatas garis khatulistiwa.
Itu artinya negara ini adalah negara maritim dimana bentangan daratannya dapat digunakan sebagai wilayah agraris sekaligus memiliki hasil bumi yang sangat melimpah. Lagi lagi pertanyaannya adalah mengapa Indonesia belum juga mampu untuk menjadi negara makmur dan menjadi global player yang disegani, malah justru sebaliknya negeri ini seakan-akan telah menjelma menjadi market dunia dimana tingkat konsumerisme yang begitu tinggi namun income perkapitanya sangat rendah, sehingga terjerat pada kategori MIDDLE INCOME TRAP COUNTRY atau PERANGKAP NEGARA BERPENGHASILAN MENENGAH.
Mungkin akibat dari politik praktis pemerintahan yang hanya menempatkan rakyat kecil pada posisi tawar yang sangat rendah sehingga mereka tetap termarjinalkan oleh kekuasaan. Dimana mereka hanya diberikan Bantuan Langsung Tunai dan Bansos yang sesungguh itu merupakan cara untuk menutupi kelemahan dari sebuah pemerintahan, namun uniknya cara itu seringkali digunakan untuk menunjukkan kepada rakyat bahwa pemerintah yang lagi berkuasa sangat baik, padahal sesungguhnya cara itu sama sekali tidak mengedukasi. Bahkan Bansos dan BLT seringkali digunakan sebagai alat politisasi yang manipulatif kepada rakyat.
Dalam pengertiannya, Bansos atau bantuan sosial adalah sebuah instrumen pada APBN. Artinya bansos adalah kewajiban negara terhadap rakyat miskin demi pemenuhan pangan yang diperintahkan melalui UU. Maka dapat diartikan apabila bansos bukanlah pemberian seseorang atau kelompok melainkan pemberian negara kepada rakyat yang mewajibkan kepada pemerintah untuk menjalankannya. Bahkan selama ini yang terjadi Bansos banyak digunakan demi mencitrakan pemerintahan yang tentunya itu merupakan pelanggaran terhadap keuangan negara, padahal pemerintah hanya sebatas menyalurkan atas perintah UU Tahun 2023 bansos bernilai 476 Trilliun, dimana tahun ini kenaikannya berkisar 11 Trilliun lebih yang notabene nilai tersebut diambil dari sebagian pinjaman luar negeri, hasil menaikkan pajak dan dari hasil menaikkan harga BBM.
Bahkan penggelontoran Bansos dan BLT untuk tahun ini melibih jumlah yang dikeluarkan pada waktu covid 19. Bukankah itu menunjukkan bahwa kepentingan politik praktis masih sangat dominan.
Belakangan ini juga kita banyak mendengar tentang program strategis pemerintahan. Salah satunya adalah program hilirisasi tambang yang awalnya dimulai dari eksplorasi sampai pada tingkat mengeksploitasi sumber daya alam yang kita miliki dengan menggunakan teknologi dan modal asing.
Namun itupun tidak mampu membawa Indonesia menjadi negara yang berpenghasilan tinggi apalagi untuk sejajar dengan negara lain. Bahkan diperkirakan dalam jangka waktu sepuluh tahun kedepan cadangan nikel Indonesia akan habis dan akan menimbulkan problematika baru terhadap masalah tenaga kerja yang masih produktif namun harus berhadapan dengan PHK sebab diperkirakan 10 tahun ke depan cadangan mineral kita utamanya nikel akan habis.
Pertanyaan yang sering muncul dibenak kita adalah apakah mineral sumber daya alam yang dihilirisasi tersebut masih milik Indonesia atau sebaliknya telah menjadi milik asing sebab penguasaan dan pengelolaannya telah dikuasai oleh asing melalui pemberian hak konsesi yang merupakan karpet merah yang terdapat pada UU Minerba dan UU Investasi, sehingga ketika sebuah produk tambang yang akan dan telah dihilirisasi untuk diekspor maka sesungguhnya itu bukan lagi milik INDONESIA melainkan telah milik asing, sehingga mengakibatkan cadangan devisa negara tidak dapat bertambah sebab nilai keuntungan yang didapatkan tidak lagi dapat kembali ke Indonesia namun menjadi bagian keuntungan pada investor asing.
Sementara yang tertinggal di negeri ini hanyalah PNBP atau Penerimaan Negara Bukan Pajak. Dalam hal PPn + PPh diberikan Taks Holiday, artinya PPN dan PPh semuanya gratis. Daerah yang seharusnya medapat Value lebih besar hanya diberikan Royalti yang jumlahnya tidak seberapa dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi untuk selanjutnya dibagikan pada seluruh daerah yang berada di provinsi tersebut. Maka cara ini sangat bertentangan pada prinsip kesetaraan dan keadilan.
Hal ini juga berdampak pada lingkungan yang tidak bersih lagi. Hutan menjadi gundul serta limbah beracun yang dihasilkan dari mesin pabrik atau smelter serta tenaga kerja dalam negeri yang sangat murah.
Maka program hilirisasi sesungguhnya tidak mendatangkan keuntungan yang signifikan sebab yang terjadi adalah dimana ketersediaan bahan baku bukan lagi milik Indonesia namun telah menjadi milik asing dimana penguasaannya melalui pemberian hak pengelolaan dan penguasaan tambang atau biasa disebut hak konsesi.
Pada situasi dan arus ekonomi dunia, terdapat sebuah istilah yang seringkali dapat menggambarkan kepada kita tentang kondisi ekonomi sebuah negara ketika negara tersebut terserang invasi ekonomi dari negara luar, yaitu Black Market Of Power atau pasar gelap kekuasaan. Dimana sebuah kelasiman yang digunakan oleh kartel ekonomi atau oligarki kapitalis dalam hal melakukan invasi politik ekonomi dibalik sistem demokrasi pada sebuah negara.
Yang mana kartel tersebut akan mendominasi dan menggunakan kapitalnya dalam hal mempengaruhi kebijakan politik dan hukum sebuah negara dan menjadikan investasi sebagai sebuah alasan untuk mencapai tujuannya serta berlindung dibalik produk perundang-undangan dan demokrasi. Namun ketika semua itu terjadi di negeri ini maka sesungguhnya telah melanggar hak rakyat, hak adat dan etika lingkungan.
Membayangkan hal ini adalah sebuah paradoks, dimana ketika kita simpulkan bahwa begitu lemahnya pengelolaan sumber daya mineral kita selama ini yang menunjukkan bahwa sesungguhnya kita telah kalah dalam economic warfare atau peperangan ekonomi dimana keberadaan smelter di Indonesia yang seharusnya dapat memberikan kontribusi signifikan justru sebaliknya hanyalah sebuah tipuan politik kepentingan asing untuk mengakali mata rakyat.
Dari ketidak fahaman kita akan sesuatu yang tengah terjadi maka kita menganggap bahwa program eksplorasi dan eksploitasi utamanya pada sektor minerba bahkan pangan telah banyak membantu ekonomi kita, namun fakta yang sesungguhnya adalah sebuah perampasan kekayaan rakyat dimana kebijakannya dibungkus dengan legitimasi UU. Hal tersebut seharusnya dikuasai oleh negara dan dikelola untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, sebab itu adalah perintah konstitusi kepada pemerintah.
Andai saja kebijakan yang dilakukan selama ini tepat pada sasaran maka tentu saja fostur APBN tidak hanya berada pada level penerimaan negara yang stagnan, utamanya dalam hal penerimaan devisa negara dari ekspor bahan baku tambang. Dan andai saja program hilirisasi dikuasai oleh negara dan tidak dikuasai oleh perusahaan asing maka sudah pasti akan meningkatkan penerimaan devisa negara berkali lipat bahkan akan semakin memperkuat cadangan devisa kita. Namun faktanya menjadi lain. Jumlah ekspor makin meningkat, akan tetapi tidak juga dapat memberikan kontribusi apa apa pada cadangan Devisa negara. Itu artinya semua nilai keuntungan dari ekspor tersebut bukan lagi menjadi hak Indonesia. Ini adalah salah satu persoalan yang telah membawa Indonesia masuk dan terjebak pada level negara yang berpenghasilan menengah atau MIDDLE INCOME TRAP COUNTRY.
Dalam nota APBN untuk tahun 2023 dan diperkirakan ditahun 2024 ini berada pada angka 2600 T sampai dengan 3600 T. Dimana angka tersebut harus dikurangi 1100 T untuk dilakukan pembayaran pokok utang dan bunga utang yang akan jatuh tempo ditahun 2024 ini pada IMF dan Bank Dunia. Belum lagi utang BUMN yang capaian angkanya kurang lebih 8000 Triliun. Utang untuk gaji pensiunan ASN, TNI dan Polri yang diperkirakan mencapai kurang lebih 4000 Triliun. Lantas siapakah yang paling menikmati program eksplorasi dan eksploitasi yang berkedok investasi pada bumi Indonesia dan berhasil membuat Indonesia masuk pada level dept trap atau keterjebakan utang..
Tentu jawabannya adalah para investor asing atau para kapitalis dunia yang dibantu oleh kapitalis dalam negeri melalui kekuatan politik dari politisi opportunis yang tidak punya basis kesadaran pengetahuan tentang idiological warfare atau pengetahuan tentang perang idiologi yang fokus menyasar pada orang-orang yang tidak cukup pengetahuan dalam memandang bagaimana seharusnya negara dijalankan dan bagaimana seorang politisi ataupun pemerintah dapat memahami apa yang disebut ancaman bernegara atau nation threat dan bagaimana menganalisa sebuah ancaman atau threat analisis yang bukan saja berasal dari luar namun juga berasal dari dalam negara utamanya pada sektor kebijakan pemerintahan. Semua itu menyangkut nasionalisme, integritas dan faham wawasan kebangsaan dalam artian yang sesungguhnya, atau dengan istilah dasar dalam bernegara yaitu survival of the nation atau jalan keberlangsungan hidup sebuah Bangsa.
Fakta selama ini yang terjadi pada eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan sejak pemerintah Orde Baru jumlah hasil kekayaan yang berhasil dikembalikan pada negara melalui APBN yaitu sebanyak 33% sampai 38%. Awal reformasi ada sekitar 23 sampai 28%. Dan sejak Rezim ini hanya berkisar antara 7 sampai 9% saja. Ini menandakan bahwa dari tahun ke tahun bagian yang kembali pada Negara itu porsinya semakin kecil. Artinya bagian yang telah dirampok dari negara ini sangat besar. Sementara eksplorasi dan eksploitasi Minerba makin sangat meningkat jumlahnya. Bahkan hampir semua pasilitas kekayaan sumber daya yang mempunyai nilai strategis, terutama pada sektor keuangan yang ada di daerah justru dikendalikan dan hasilnya diserap masuk ke pusat yang akibatnya banyak daerah yang sesungguhnya kaya dengan hasil bumi dan sumberdaya alam justru menjadi miskin. Maka hal ini sama saja kita menganut sistem demokrasi eksploitatif yang tidak berkeadilan.
Akibat dari kebijakan politik penguasa saat ini tentunya menjadi problem yang sangat serius sebab kebanyakan dari mereka adalah pengusaha yang merangkap sebagai penguasa. Dimana hal ini akan membuat jurang ketidakadilan semakin mengangah, sebab itu bukan lagi hal yang menyangkut monopoli namun telah masuk pada apa yang disebut oligopoli, dimana mulai dari penguasaan perangkat aturan, sumber daya sampai kepada penguasaan nilai pasar semua dikuasai hanya pada segelintir orang tertentu saja. Tentu keuntungan yang lebih besar didapatkan pada kelompok tertentu saja dibandingkan dengan yang masuk pada kas negara apalagi kepada rakyat. Olehnya itu investasi asing yang marak dan sedang berlangsung sebaiknya dievaluasi ulang sebab telah menghina Pancasila, utamanya sila ke 5, yaitu (Mewujudkan) KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA.
Andaikan semua pihak dapat menggunakan transmisi pengetahuannya untuk melawan ketidaktahuan agar kembali dapat menemukan, menempatkan dan memanfaatkan negeri ini sebagai sebuah jalan atau sarana untuk mengucapkan dan melakukan kebenaran, maka sesungguhnya perintah pada konstitusi telah dilaksanakan dengan benar. Namun faktanya banyak yang menggunakan atau memanfaatkan negeri ini dengan tanpa kesadaran dan tanpa pengetahuan sebagai jalan ketidakbenaran untuk sebuah tujuan pribadi. Akibatnya hampir semua orang telah terperangkap pada VICIOUS CIRCLE atau lingkaran setan, dimana jalan ini adalah jalan terjal yang berliku terhadap sistem Bernegara kita.
Wallahu Alam Bissawab….
Palopo, 5 Pebruari 2024
Rusdy Maiseng