SABER, TANA TORAJA | Lembaga adat Tongkonan Adat Sang Torayan (TAST) resmi melayangkan surat terbuka kepada komedian Pandji Pragiwaksono. Langkah ini diambil menyusul pernyataan Pandji dalam salah satu tayangan komedinya yang dinilai menyinggung adat dan budaya Toraja, khususnya upacara kematian sakral Rambu Solo’.
Surat terbuka tersebut beredar luas di berbagai platform media sosial dan telah menarik perhatian publik. Surat itu ditandatangani langsung oleh Ketua Umum TAST, Benyamin Rantello, dan Sekretaris Umum, Ronny Parassa. Dalam suratnya, TAST menegaskan bahwa apa yang disampaikan Pandji dalam tayangannya menunjukkan ketidakpahaman mendalam terhadap makna adat Toraja.
“Kami menegaskan bahwa Rambu Solo’ bukan sekadar ritual mahal, melainkan wujud penghormatan terakhir kepada leluhur yang dijalankan dengan nilai gotong royong,” tulis TAST dalam surat terbuka tersebut.
TAST juga menolak anggapan bahwa adat Toraja menyebabkan kemiskinan di kalangan masyarakat. Mereka menjelaskan bahwa adat justru menjadi perekat sosial dan penopang ekonomi yang berlandaskan solidaritas antarwarga.
Keserakahan dan hilangnya semangat gotong royonglah yang dapat menimbulkan kesulitan sosial, bukan adat itu sendiri,” tegas lembaga adat tersebut.
Lebih lanjut, TAST mengklarifikasi pernyataan Pandji mengenai jenazah yang “dibiarkan di ruang tamu”. Dalam tradisi Toraja, hal tersebut bukan bentuk pelecehan, melainkan simbol kasih sayang dan penghormatan keluarga kepada almarhum.
Orang yang meninggal disebut to makula’, bukan ‘mayat’. Mereka masih dianggap bagian dari keluarga sampai prosesi pemakaman tiba,” tulisnya.
Meski demikian, lembaga adat tersebut tetap menghormati kebebasan berekspresi di dunia seni dan komedi. Namun, mereka menegaskan bahwa kebebasan tersebut harus disertai tanggung jawab moral dan pemahaman budaya agar tidak menjadi bentuk pelecehan terhadap nilai-nilai luhur suatu daerah.
Melalui surat terbuka itu, Tongkonan Adat Sang Torayan menyampaikan tiga poin penting kepada Pandji Pragiwaksono:
1. Meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat Toraja atas pernyataannya.
2. Belajar dan berdialog langsung dengan lembaga adat untuk memahami filosofi Rambu Solo’ secara utuh.
3. Menjadikan kejadian ini refleksi moral, agar seni dan komedi tetap menjadi sarana edukasi yang menghormati kearifan lokal.
Sebagai bangsa besar, Indonesia berdiri di atas keberagaman adat dan budaya. Ketika satu adat dilecehkan, maka seluruh bangsa turut terluka,” tutupnya.(*)







